Sms Pengaduan :
news_img
  • ADMIN
  • 28-01-2005
  • 668 Kali

BUPPA’ BABU’ GURU RATO MERUPAKAN STANDART REFERENSI KEPATUHAN MASYARAKAT MADURA

Sumenep-Infokom News Room : Semua orang Madura pasti tahu tentang adanya ungkapan buppa’ babu’ guru rato. Tapi apakah semua orang Madura paham akan makna yang terkandung didalamnya ? jawabnya tidak. Karena menurut pengamatan, paling-paling yang mereka pahami tentang makna ungkapan itu adalah kepatuhan orang Madura secara hierarhikal pada figur-figur utama. Demikian antara lain diungkapkan DR. A. Latief Wiyata seorang Antropolog Budaya Madura dalam Bincang Kompas “Quo Vadis Budaya Madura�, Kamis (27/01) di Hotel Utami Sumekar Sumenep. Dikatakan, bahwa orang Madura pertama-tama harus patuh dan taat pada kedua orang tuanya, kemudian pada guru dan terakhir pada rato ( pemimpin formal yang biasa disebut birokrat). Artinya dalam kehidupan sosial budaya orang Madura terdapat standart referensi kepatuhan terhadap figur-figur utama secara hierarhikal yang sudah seharusnya dilaksanakan. Sebagai aturan normatif yang mengikat setiap orang Madura, maka pelanggaran atau paling tidak melalaikan aturan itu – akan mendapatkan sanksi sosial sekaligus kultural. Ditambahkan Latief Wiyata yang juga Dosen FISIP Universitas Jember itu, tentu saja pemaknaan sebatas itu tidak sepenuhnya salah. Namun jika makna ungkapan tersebut hanya sebatas kepatuhan orang Madura pada figur-figur tertentu secara hierarhikal, maka implikasi praktisnya menuntut orang Madura harus patuh, patuh, sekali lagi hanya patuh. Tidak ada pilihan lain. Tidak ada kesempatan dan ruang sekecil apapun agar orang Madura dipatuhi. Oleh karenanya perlu adanya perenungan kembali yang lebih mendalam. Pada kesempatan acara tersebut, juga disampaikan makalah Kearifan dari Sastra Lisan Madura oleh D. Zawawi Imron, yang diantaranya mengungkapkan tentang Pandangan hidup orang Madura yang banyak berupa ungkapan-ungkapan saloka, pantun, lagu dan lain-lain, seperti untuk keduniaan ada saloka “abantal omba’ asapo’ angin� dan untuk keagamaan ada saloka “abantal syahadat asapo’ iman�. Selain itu, terdapat Tatakrama (budi pekerti) yang harus diutamakan, seperti ungkapan “oreng andhi’ tatakrama reya akantha pesse singgapun, ekabalanja’a e dhimma bai paju�. Disamping itu masih banyak lagi kearifan sastra lisan Madura yang bermakna persahabatan, tidak boleh menyakiti orang lain, baik hati, dan etos kerja yang menurut penyair asal Batang-batang Kabupaten Sumenep tersebut merupakan khasanah kekayaan budaya orang Madura. Sementara itu, Edy Setiawan, SH sebagai budayawan Sumenep mengungkapkan bahwa kita harus mulai mempunyai pemikiran untuk mencari jalan keluar tentang adanya distorsi pendapat yang menyatakan bahwa orang Madura identik dengan kekerasan seperti suka carok. Bahwasanya masih banyak terdapat kehalusan budi pekerti yang dimiliki orang Madura seperti telah dimanifestasikan dengan berbagai kesenian yang dimiliki dan telah pula diperkenalkan sampai ke Luar Negeri. Untuk itu diharapkan agar potensi yang ada harus direvitalisasi bahkan dihidupkan kembali, agar ruh seni budaya tetap menjadi bagian kehidupan orang Madura yang bermanfaat. ( Fj, Tin, Esha )