Sms Pengaduan :
news_img
  • ADMIN
  • 03-12-2018
  • 714 Kali

Jejak K. Langgar Attas, Salah Satu Tokoh Ulama Awal Ambunten

Media Center, Senin ( 03/12 ) Di sebuah dataran tinggi, di kampung Batang, Ambunten, terdapat kompleks pemakaman sepuh. Jirat dan ornamen makam begitu unik dan tua. Bentuk nisan maupun kijing hampir memiliki kesamaan dengan nisan dan kijing beberapa makam kuna di Sumenep. Seperti ukuran, tinggi dari permukaan tanah. Umumnya bentuk makam seperti itu produk abad 18 akhir atau 19 awal. Meski butuh uji khusus terutama mengenai usia batu. Makam itu juga memiliki ornamen, seperti perlambang atau gambar tertentu. Bedanya, di makam itu ada semacam dinding berbentuk wayang.

Menurut cerita Nyai Hj. Zainiyah, salah satu warga sekaligus tokoh setempat, kawasan tersebut merupakan kompleks Asta Kiai Langgar Attas.

Sebutan langgar attas semacam laqob, nisbat pada tempat atau sesuatu. Seperti sebutan Kiai Sendir, Kiai Parongpong, Kiai Barangbang dan lain sebagainya. Secara makna langgar attas ialah langgar (surau, mushalla) yang berada di atas, atau posisinya berada di dataran tinggi suatu tempat. Sebutan Kiai Langgar sebenarnya sebutan umum bagi banyak tokoh.

Di beberapa tempat, banyak tokoh yang disebut kiai Langgar. Biasanya merujuk pada guru ngaji, atau tokoh agama yang memiliki tempat khusus dalam mengajar (morok), bernama langgar atau mushalla.

Kiai Langgar Attas menurut Zainiyah merupakan ulama sepuh di wilayah tersebut. Menurut kisah turun-temurun, Kiai Langgar Attas merupakan tokoh ulama pendatang. Tidak ada keterangan mengenai asal-muasalnya.

"Salah satu kisah menyebut beliau dari arah Barat. Bisa jadi dari Bangkalan saat ini," kata mertua K. H. Uwais Ali Hisyam ini.

Konon, Kiai Langgar Attas datang bersama saudara laki-lakinya. Keduanya merupakan tokoh yang alim. Namun karena perbedaan pendapat dan sistem pendekatan dakwah pada masyarakat, saudara K. Langgar Attas memutuskan untuk hijrah dari Ambunten.

"Menurut riwayat hijrah ke Barangbang Sumenep," ungkap Zainiyah.

Perbedaan itu menurut tutur, seputar metode dakwah. Kiai Langgar Attas bersikap lebih terbuka terhadap adat istiadat setempat. Sedang saudara beliau lebih keras dalam menerapkan hukum agama. Nah, perbedaan tersebut tentu saja bisa berakibat tidak baik. Dan keduanya memahami secara arif. Sehingga memutuskan untuk berpisah.

Hingga saat ini, pasarean Langgar Attas masih terawat, meski tentu butuh perhatian lebih. Mengingat sisi kekunaannya bisa menjadi kajian mengenai Islam di Sumenep bagian Utara.

“Perlu disterilkan juga. Karena di sekitarnya sudah menjadi pemakaman umum. Khawatir nanti lambat laun menghilangkan unsur kekunaannya,” kata Ja’far Shadiq, salah satu pemerhati sejarah Sumenep yang tergabung di Tim Ngoser (Ngopi Sejarah). ( M. Farhan M, Esha )