Sms Pengaduan :
news_img
  • ADMIN
  • 30-10-2017
  • 2187 Kali

Kiai Macan, Tokoh Legendaris Pembawa Seni Tradisional Sintung

Media Center, Senin ( 30/10 ) Selama beberapa edisi, Media Center menelusuri asal-usul seni tradisional Sintung. Banyak versi mengenai sejarah lahirnya kesenian ini. Seperti berasal dari Parongpong, Desa Kecer, Kecamatan Dasuk; yang dibawa dari Aceh dan lain sebagainya. Namun, seni ini kini populer dan hidup di kawasan Ambunten. Di tempat ini Sintung terus “bershalawat”. Konon, tokoh awal yang membawa dan melestarikan seni ini di kawasan Pantura itu ialah Kiai Macan.

“Kiai Macan adalah tokoh awal yang membawa seni ini,”tegas Faiqul Khair al-Kudus, pemerhati sejarah Sintung, pada Media Center.

Informasi dari Faiqul Khair ini dibenarkan oleh KH. Suhil Imam, tokoh Ambunten yang sekaligus pemerhati sejarah dan budaya sekaligus pelestari Sintung saat ini. Kiai yang dikenal akrab dengan kesenian musik gambus dan shalawatan ini bisa dikata tokoh yang sangat peduli budaya lokal. “Tujuan utama saya, ya memurnikan seni lokal. Mengembalikan keaslian yang dicemari oleh perbuatan-perbuatan menyimpang. Nah, Sintung ini murni seni shalawatan yang memang dibawa oleh Kiai Macan,”katanya.

Media Center sempat napak tilas ke pasarean Kiai Macan di Kampung Guwa, Ambunten Tengah. Tepat di tengah sawah. Makamnya sudah dipugar. Namun, nisannya masih asli. Hanya kijing yang dikeramik.

Lalu siapa Kiai Macan? Menurut salah satu keturunan Kiai Macan di Ambunten, Nyai Hj. Munifah, Kiai Macan adalah seorang ulama besar Ambunten. Beliau juga sekaligus penasihat raja, dan Senapati Keraton. Nama aslinya Kiai Raden Singoleksono. Gelar Kiai sekaligus Raden itu menandakan bahwa beliau merupakan tokoh bangsawan yang disegani. “Raja Sumenep yang ta’zhim pada beliau. Karena disamping masih ada hubungan keluarga, Kiai Macan juga dikenal sebagai tokoh yang memiliki banyak karomah,”kata Nyai Munifah, yang juga cucu keponakan KH. Aliwafa, Ambunten ini.

Menurut catatan K. RB. Mohammad Mahfuzh Wongsoleksono, mantan Wedana Kangayan dan sekaligus Ambunten, Kiai Macan memang bergelar Kiai Singoleksono. Di catatan itu ada 2 orang bergelar Singoleksono yang dibedakan dengan angka romawi I dan II. Keduanya adalah ayah dan anak. Sang Kiai ini merupakan cucu Patih Sumenep yang diperkirakan di masa Pangeran Rama, yaitu Raden Entol Anom alias Raden Ario Onggodiwongso, turunan pancer Adipati Sampang.

Di catatan itu dijelaskan bahwa Kiai Singoleksono I dan II adalah Kepala Ambunten. Dulu disebut juga Demang. Jabatan ini setingkat Walikota. Sedang Ambunten merupakan salah satu daerah Mardikan atau bebas pajak. Hal itu disebabkan pengaruh Kiai Singoleksono atau Kiai Macan.

“Di masa Kiai Macan, Ambunten merupakan wilayah paling aman dari begal, rampok, atau pun pencuri. Karena karomah beliau, para pencuri tanpa sadar menampakkan diri dan mengembalikan barang curiannya. Konon, hanya dengan tabuhan kentungan,”kata Raden Imamiyah, keponakan Gus Mahfuzh Wongsoleksono, yang juga memiliki garis silsilah ke Kiai Macan.

Lalu Sintung ? Menurut beberapa riwayat para tokoh di Ambunten, Kiai Macan dulu juga pernah ikut ekspedisi perang ke Aceh. Nah, ini mirip dengan keterangan tokoh di Parongpong, tentang salah satu Kiai Parongpong sepuh yang ikut ekspedisi ke Aceh. “Jadi, bisa saja Kiai Ambunten (Kiai Macan) dan Kiai Parongpong bersamaan ke sana,”kata salah satu pemerhati sejarah Sumenep, RB. Muhlis.

Konon, menurut Imamiyah, Kiai Macan ini mengendarai ikan Mondung ke Aceh. Riwayat lain mengendarai pe-sapean pappa (pelepah pisang). Namun riwayat masyhur di Ambunten, Kiai Macan memiliki piaraan seekor Macan Putih. Pasarean Kiai Macan yang sering diziarahi banyak orang hingga luar Sumenep itu memang memiliki kisah tersendiri. “Banyak yang ziarah karena punya nadzar, atau didatangi wangsit. Nah, tak sedikit yang melihat sosok macan dan ular besar saat ‘nyepi’ di sana,”kata Drs. Raheli, salah satu warga Ambunten yang rumahnya dekat pasarean Kiai Macan.

Sayang, pasarean Kiai Macan kurang mendapat perhatian dari pemerintah sebagai salah satu situs sejarah Ambunten. Padahal tokoh ini dulu begitu penting di Ambunten. Bisa dikata membawa Ambunten menuju peradaban emas. Namun mungkin namanya sudah tenggelam dan pudar.

Kembali pada Sintung, seperti yang diketahui seni ini merupakan perpaduan yang kompleks dari seni tari, seni musik, dan olah vokal. Pada unsur seni tari, aksi Sintung terlihat dalam gerakan-gerakan dinamis dan memukau hasil modifikasi hadrah, gambus dan rancak. Sintung mungkin satu-satunya kesenian yang bernafaskan Islam tanpa dicampuri oleh unsur budaya lainnya. ( M Farhan M, Esha )