Media Center, Senin ( 30/10 ) Selama beberapa edisi, Media Center menelusuri asal-usul seni
tradisional Sintung. Banyak versi mengenai sejarah lahirnya kesenian
ini. Seperti berasal dari Parongpong, Desa Kecer, Kecamatan Dasuk; yang
dibawa dari Aceh dan lain sebagainya. Namun, seni ini kini populer dan
hidup di kawasan Ambunten. Di tempat ini Sintung terus “bershalawat”. Konon, tokoh awal yang membawa dan melestarikan seni ini di kawasan
Pantura itu ialah Kiai Macan.
“Kiai Macan adalah tokoh awal yang membawa
seni ini,”tegas Faiqul Khair al-Kudus, pemerhati sejarah Sintung, pada
Media Center.
Informasi dari Faiqul Khair ini dibenarkan oleh KH.
Suhil Imam, tokoh Ambunten yang sekaligus pemerhati sejarah dan budaya
sekaligus pelestari Sintung saat ini. Kiai yang dikenal akrab dengan
kesenian musik gambus dan shalawatan ini bisa dikata tokoh yang sangat
peduli budaya lokal. “Tujuan utama saya, ya memurnikan seni lokal.
Mengembalikan keaslian yang dicemari oleh perbuatan-perbuatan
menyimpang. Nah, Sintung ini murni seni shalawatan yang memang dibawa
oleh Kiai Macan,”katanya.
Media Center sempat napak tilas ke pasarean Kiai Macan di Kampung Guwa, Ambunten Tengah. Tepat di tengah sawah. Makamnya sudah dipugar. Namun, nisannya masih asli. Hanya kijing yang dikeramik.
Lalu siapa Kiai Macan? Menurut salah satu keturunan Kiai Macan di Ambunten, Nyai Hj. Munifah, Kiai Macan adalah seorang ulama besar Ambunten. Beliau juga sekaligus penasihat raja, dan Senapati Keraton. Nama aslinya Kiai Raden Singoleksono. Gelar Kiai sekaligus Raden itu menandakan bahwa beliau merupakan tokoh bangsawan yang disegani. “Raja Sumenep yang ta’zhim pada beliau. Karena disamping masih ada hubungan keluarga, Kiai Macan juga dikenal sebagai tokoh yang memiliki banyak karomah,”kata Nyai Munifah, yang juga cucu keponakan KH. Aliwafa, Ambunten ini.
Menurut catatan K. RB. Mohammad Mahfuzh Wongsoleksono, mantan Wedana Kangayan dan sekaligus Ambunten, Kiai Macan memang bergelar Kiai Singoleksono. Di catatan itu ada 2 orang bergelar Singoleksono yang dibedakan dengan angka romawi I dan II. Keduanya adalah ayah dan anak. Sang Kiai ini merupakan cucu Patih Sumenep yang diperkirakan di masa Pangeran Rama, yaitu Raden Entol Anom alias Raden Ario Onggodiwongso, turunan pancer Adipati Sampang.
Di catatan itu dijelaskan bahwa Kiai
Singoleksono I dan II adalah Kepala Ambunten. Dulu disebut juga Demang.
Jabatan ini setingkat Walikota. Sedang Ambunten merupakan salah satu
daerah Mardikan atau bebas pajak. Hal itu disebabkan pengaruh Kiai
Singoleksono atau Kiai Macan.
“Di masa Kiai Macan, Ambunten
merupakan wilayah paling aman dari begal, rampok, atau pun pencuri.
Karena karomah beliau, para pencuri tanpa sadar menampakkan diri dan
mengembalikan barang curiannya. Konon, hanya dengan tabuhan
kentungan,”kata Raden Imamiyah, keponakan Gus Mahfuzh Wongsoleksono,
yang juga memiliki garis silsilah ke Kiai Macan.
Lalu Sintung ? Menurut beberapa riwayat para tokoh di Ambunten, Kiai Macan dulu juga
pernah ikut ekspedisi perang ke Aceh. Nah, ini mirip
dengan keterangan tokoh di Parongpong, tentang salah satu Kiai
Parongpong sepuh yang ikut ekspedisi ke Aceh. “Jadi, bisa saja
Kiai Ambunten (Kiai Macan) dan Kiai Parongpong bersamaan ke sana,”kata salah satu pemerhati sejarah Sumenep, RB. Muhlis.
Konon,
menurut Imamiyah, Kiai Macan ini mengendarai ikan Mondung ke Aceh.
Riwayat lain mengendarai pe-sapean pappa (pelepah pisang). Namun
riwayat masyhur di Ambunten, Kiai Macan memiliki piaraan seekor Macan
Putih. Pasarean Kiai Macan yang sering diziarahi banyak orang hingga
luar Sumenep itu memang memiliki kisah tersendiri. “Banyak yang
ziarah karena punya nadzar, atau didatangi wangsit. Nah, tak sedikit
yang melihat sosok macan dan ular besar saat ‘nyepi’ di sana,”kata Drs.
Raheli, salah satu warga Ambunten yang rumahnya dekat pasarean Kiai
Macan.
Sayang, pasarean Kiai Macan kurang mendapat perhatian dari
pemerintah sebagai salah satu situs sejarah Ambunten. Padahal tokoh ini
dulu begitu penting di Ambunten. Bisa dikata membawa Ambunten menuju
peradaban emas. Namun mungkin namanya sudah tenggelam dan pudar.
Kembali pada Sintung, seperti yang diketahui seni ini merupakan
perpaduan yang kompleks dari seni tari, seni musik, dan olah vokal. Pada
unsur seni tari, aksi Sintung terlihat dalam gerakan-gerakan dinamis
dan memukau hasil modifikasi hadrah, gambus dan rancak. Sintung mungkin
satu-satunya kesenian yang bernafaskan Islam tanpa dicampuri oleh unsur
budaya lainnya. ( M Farhan M, Esha )