Media Center, Selasa ( 06/02 ) Tulisan sebelumnya mengangkat sosok Raden Adipati Pringgoloyo, Patih Dalem atau Rijksbestuurder dalam bahasa Belanda, di Keraton Sumenep. Sang Patih ini diceritakan sebagai putra pembesar tanah Jawa yang berkedudukan di Semarang. Karena ditengara terlibat dalam proses meletusnya perang Jawa, serta terbukti bakal bergabung dengan Diponegoro, Pringgoloyo yang kala itu bernama Raden Saleh alias Raden Ario Notodiningrat yang menjabat sebagai Bupati Lasem, ditangkap, diadili, dan diasingkan beserta ayahnya, Kangjeng Terbaya, alias Kangjeng Kiai Adipati Suroadimenggolo V. Bagaimana kiprah Pringgoloyo sebelum ditangkap dan pasca diasingkan?
Di dalam buku “Dua Raden Saleh Dua Nasionalis Dalam Abad 19”, tulisan
Dr. Soekanto, Pringgoloyo lahir di Terbaya tahun 1801. Dalam catatan
silsilah keluarga Keraton Sumenep susunan RB. Abdul Fatah, Kangjeng Kiai
Adipati Suroadimenggolo V memiliki 40 putra-putri. Tidak
dijelaskan, anak keberapa Pringgoloyo ini. Kakak perempuan Pringgoloyo,
Raden Ajeng Khadijah merupakan permaisuri Sultan Sumenep, Abdurrahman
Pakunataningrat (m. 1811-1854).
Ketika berumur 11 tahun, Raden Saleh
atau Pringgoloyo kecil menempuh pendidikan di Bengal (Kalkutta). Ayahnya, Kanjeng Kiai, seperti yang juga ditulis Mr Hamid Algadri dalam
bukunya, “Islam dan Keturunan Arab Dalam Pemberontakan Melawan Belanda”,
merupakan sosok yang peduli tinggi terhadap pendidikan putra-putrinya.
Beliau dikenal tak peduli dengan biaya besar yang dihabiskan untuk hal
itu.
“Keluarga Semarang, atau Dinasti Suroadimenggolo memang
dikenal sebagai keluarga cendekia dan perpendidikan tinggi, dan
berpengetahuan luas, serta menguasai banyak bahasa asing, sehingga di
kalangan bangsawan kala itu hingga setelahnya, keluarga ini juga dikenal
sebagai keluarga yang melahirkan orang-orang jenius di bidang
pengetahuan. Sultan Sumenep yang dikenal sebagai cendekia itu juga
dialiri darah Semarang dari pihak ibunya, yaitu Raden Ajeng Maimunah,
putri Suroadimenggolo III. Jadi, Sultan itu sepupu dengan
mertuanya, Suroadimenggolo V,” kata RB. Muhlis, salah
satu pemerhati sejarah di Kabupaten Sumenep, pada Media Center, Selasa (06/02).
Kembali pada Pringgoloyo, tak sampai 4 tahun di Kalkutta, kembali ke tanah Jawa dengan menyandang predikat sarjana dengan hasil yang sangat memuaskan. Itulah kiranya yang menjadikannya di usia 16 tahun sudah ditunjuk sebagai Bupati Probolinggo (1817), lalu dipindah sebagai Bupati Lasem hingga 1824, yaitu di tahun beliau ditangkap dan didakwa, dan diadili. Setelah itu Raden Saleh ini beserta ayahnya dibuang ke Surabaya hingga ke Ambon, dan dikirim ke Sumenep pada 24 April 1830.
Kangjeng Kai wafat tak lama setelah sampai di
Sumenep, tepatnya 25 Dzulhijjah 1242 Hijriah. Jenazahnya dimakamkan di
Asta Tinggi di sebuah kompleks khusus Pasarean “Raja” Semarang. Sementara Raden Saleh diangkat sebagai Patih Dalem dengan gelar Raden
Adipati Pringgoloyo. Pengalaman beliau sebagai Bupati di Probolinggo dan
Lasem membuat Sultan Sumenep memasrahkan roda pemerintahan di Bumi Sumekar ini, sehingga kebijakan dan urusan kenegaraan
sepenuhnya di tangan keluarga Semarang.
“Konon, Pringgoloyo, dan
saudara-saudaranya yang ikut ke Sumenep, diawasi terus oleh Belanda.
Selama beberapa generasi dari trah Suroadimenggolo memang banyak yang
berurusan dengan pengadilan Belanda. Jiwa pemberontak terhadap kaum
kafir itu terus mengalir,” kata Gus Muhlis, salah satu keturunan Pringgoloyo.
Pringgoloyo wafat di tahun
1272 Hijriah, dan dimakamkan di sebuah kompleks khusus di timur Pasarean
Raja Semarang. Posisinya sebagai Patih Dalem diganti putra
tertuanya, Raden Tumenggung Ario Mangkukusumo. Perangai sang anak
sepertinya sama dengan ayah dan kakeknya, tak lama duduk sebagai Patih
Dalem, beliau diadili di Surabaya dan diturunkan dari Jabatannya. ( M.
Farhan M, Esha )