Sms Pengaduan :
news_img
  • ADMIN
  • 13-08-2020
  • 1451 Kali

Mengenal Sosok Kiai Pekke, Saksi Sejarah Terbuktinya Ramalan Tujuh Turunan

Media Center, Kamis ( 13/08 ) Di edisi beberapa waktu lalu, Media Center mengulas tentang ziarah Masjid Lembung, di kawasan Kecamatan Lenteng, Kabupaten Sumenep. Salah satu bangunan masjid tertua di Madura Timur.

Menurut riwayat turun-temurun di Lembung, masjid yang berdiri megah di dataran tinggi yang berkakikan aliran sungai Lembung ini merupakan peninggalan Kiai Pekke. Yaitu pembabat kawasan Lembung.

“Masjid ini dibangun oleh Kiai Pekke. Kemungkinan sudah dipugar beberapa kali,” kata Halimah, salah satu warga sekitar pada Media Center, Kamis (13/08/2020).

Kiai Pekke atau Kiai Faqih diperkirakan hidup sejak akhir paruh kedua abad 17. Beliau bersaudara dengan Nyai Nurima, ibunda Bindara Saot alias Kangjeng Raden Tumenggung Tirtonegoro, penguasa Sumenep dari dinasti terakhir.

Dinasti terakhir yang berdiri sejak 1750-1929 Masehi ini dikenal dengan kisahnya yang melegenda. Pasalnya, secara trah, Bindara Saot bukanlah seorang pangeran ataupun putra mahkota alias pewaris tahta Sumenep.

“Beliau berasal dari kalangan santri. Ayahnya, Kiai Abdullah adalah seorang ulama di Batuampar. Bindara Saot sendiri sejak kecil nyantri pada pamannya di Lembung,” kata Ja’far Shadiq, salah satu pemerhati sejarah di Sumenep.

Secara tradisi, isyarat terjadinya angin perubahan Sumenep sudah datang sejak paruh pertama abad 17 atau awal kurun 1600-an Masehi. Menurut kisah folklore, isyarat itu disampaikan oleh Kiai Raba alias Kiai Abdurrahman pada Kiai Abdullah Batuampar, keponakan sekaligus anak angkatnya.

“Kisahnya juga bisa ditemukan di buku Babad Sumenep, tulisan Raden Werdisastra pada 1914. Yaitu tentang perkataan Kiai Raba, bahwa Kiai Abdullah akan menurunkan penguasa Sumenep sampai tujuh turunan,” kata Ja’far.

Ramalan Kiai Raba ini berkembang di kalangan keluarga besar Batuampar, dan Lembung. Yakni dua pecahan keluarga Prongpong maupun Sendir. Kiai Raba dan Kiai Abdullah secara geanalogi memang berasal dari kedua keluarga yang menelurkan ulama-ulama besar di Sumenep sejak abad 14-16 Masehi itu.

Syahdan, sekitar penghujung abad 17, wahyu keprabon menurut kepercayaan masyarakat Jawa atau "teja" dalam bahasa Maduranya, benar-benar jatuh pada Bindara Saot, salah satu anak Kiai Abdullah Batuampar di atas.

“Sebuah cahaya dari Timur melesat menuju Lembung dan jatuh pada tubuh Bindara Saot. Disaksikan langsung oleh Kiai Pekke,” imbuh Ja’far yang juga salah satu personel Komunitas Ngopi Sejarah (Ngoser) ini.

Kisah yang tertuang secara apik dalam beberapa literatur kuna Sumenep ini berujung pada peristiwa naiknya Bindara Saot atas singgasana Sumenep pada 1750. Beliau “dipinang” oleh Ratu Rasmana, penguasa Sumenep yang lantas menyerahkan mahkota keraton pada sang suaminya yang santri tersebut.

“Dalam sebuah naskah kuna yang disimpan keluarga Keraton Sumenep, Kiai Pekke masih hidup pada saat peristiwa terbuktinya ramalan Kiai Raba itu,” terang Ja’far.

Kiai Pekke memang diceritakan berumur panjang. Bahkan dalam naskah kuna tersebut, beliau masih hidup saat Panembahan Sumolo membangun Masjid Jami’ Keraton pada 1200 Hijriah (1786 Masehi).

“Kiai Pekke meletakkan batu pertama pembangunan masjid yang selesai dalam waktu enam tahun itu,” tutup Ja’far.

Kiai Pekke wafat dalam usia sepuh, dan dimakamkan di kompleks tersendiri di kawasan Asta Lembung. ( Han, Fer )