Sms Pengaduan :
news_img
  • ADMIN
  • 03-09-2015
  • 4570 Kali

Mengenal Sosok Toan Karaeng, Tokoh Ulama Legendaris Masalembu

News Room, Jumat ( 04/09 ) Kepulauan Masalembu menyimpan banyak keunikan, sejarah, dan suku. Di pulau ini, tak hanya dihuni warga Madura. Pulau ini juga ditempati oleh warga keturunan Sulawesi. Ada 2 suku yang hingga kini turun-temurun menjadi masyarakat pulau yang lautnya pernah menjadi lokasi tenggelamnya KMP Tampomas II tahun 1981 silam, yakni suku Bugis dan Mandar. Bahkan tak jarang juga terlihat warga keturunan Kalimantan di sini, seperti misalnya suku Dayak.

"Dulu orang-orang Bugis dan Mandar dimotivasi oleh keinginan untuk lepas dari tekanan penjajah Belanda, sehingga jalan satu-satunya adalah mencari daerah baru yang dipandang aman,"cerita Cici (45) putri seorang tokoh spiritual masyarakat Masalembu, Uwak Gani, saat ditanya alasan orang-orang Bugis mukim di pulau ini, pada News Room.

Menurut wanita keturunan suku Mandar ini, salah satu tokoh yang pertama membabat Masalembu adalah Toan Karaeng. Nama aslinya Yahya. Toan disebutnya berasal dari Sulawesi, namun lama menuntut ilmu di Makkah. Ia hidup di sekitar abad 19. Toan Karaeng merupakan salah seorang ulama besar di Masalembu.

Beliau juga dikenal sebagai Ketua NU pertama di Kecamatan Masalembu. Sebutan Karaeng yang melekat pada dirinya menunjukkan statusnya sebagai keturunan darah biru. Dalam bahasa Makassar, karaeng bermakna raja. Namun di batu nisannya, tertulis Sayyid Yahya As-Sumbul. As-Sumbul merupakan salah satu marga keturunan bangsa Arab Hadhramaut Yaman.

"Saya dengar Toan Karaeng adalah keturunan bangsawan. Beliau menetap di Masalembu hingga akhir hayatnya,"kata Cici.
Isteri Ridwan ini juga menceritakan bagaimana sepak terjang Toan Karaeng di Masalembu, termasuk hubungannya dengan penjajah Belanda yang tidak harmonis.

"Toan menjadi musuh utama Belanda di Masalembu. Beliau sering dicari-cari dan menjadi target pembunuhan utama," tambahnya.

Pernah suatu saat Belanda meluncurkan serangan melalui meriam yang ditujukan pada masjid dan kediaman Toan Karaeng. Namun anehnya, atas izin Allah SWT, menurut Cici, bom-bom yang dimuntahkan penjajah itu tidak meledak, malah meleleh. "Bom-bom itu tiba-tiba berubah cair seperti air saat menyentuh bangunan masjid milik Toan,"kata ibu 2 anak perempuan ini.

Toan Karaeng memang dikenal memiliki banyak karomah. Dulu di usia sepuhnya, pernah ada proyek penambangan minyak di Pantai Masalembu. Namun, setelah dideteksi ulang, sumber minyaknya malah hilang dan berpindah tepat di bawah rumah Toan Karaeng. “Toan memang tidak setuju, karena bisa merusak ekosistem laut,”tambah Ridwan, suami Cici.

Itulah sekelumit kisah Toan Karaeng dan sekilas mendaratnya warga Sulawesi di kepulauan Masalembu yang didapat dari Cici. Sebenarnya, kalau dilihat dari sejarah awalnya yang berasal dari cerita tutur, Masalembu sudah berpenghuni sejak abad 17. Dari keterangan beberapa warga Masalembu, pulau ini pertama kali disinggahi oleh saudagar-saudagar Bugis yang terdampar akibat kurang mendapat cukup angin untuk berlayar.

“Saat itu, pulau yang masih tanpa nama tersebut penuh dengan hewan jenis sapi atau lembu. Oleh karenanya, orang-orang Bugis menyebut pulau tersebut dengan sebutan Nusa (pulau) Lembu. Namun, lama kelamaan berubah menjadi Masalembu. Masa berarti banyak, jadi Masalembu bermakna banyak lembu. Tanah di pulau itu sangat cocok untuk menanam pohon kelapa, sehingga orang-orang Bugis itu mulai menanam tunasnya,”kata Darwis, warga desa Masalima Masalembu, yang berdarah campuran Madura-Bugis-Mandar ini.

Lambat laun dari informasi pedagang Bugis, menurut cerita Darwis, pulau ini mulai dikunjungi orang-orang Jawa dan Madura. Di situlah kemudian terjadi asimilasi budaya, melalui hubungan pernikahan. Namun, karena dominasi budaya Bugis yang cukup kuat, maka budaya Madura dan Jawa tergeser. ( Farhan, Esha )