
Media Center, Jumat ( 16/06 ) Mudik atau pulang kampung (pulkam) adalah istilah kembalinya para
mereka yang dirantau. Hal itu merupakan sebuah peristiwa alamiah dalam
perjalanan umat manusia. Tak terkecuali di Pulau Madura.
Artinya,
mereka yang keluar rumah atau kampung halaman, tak pernah lupa akan
jalan pulang dan tempat asalnya. Dalam konteks budaya, mudik atau pulkam
lantas menjadi sebuah tradisi dalam momentum tertentu.
Peristiwa ini bertambah sakral saat terkait dengan hari besar keagamaan. Perjalanan berbalut rindu itu pun semakin lebur.
“Lebaran atau Hari Raya bagi umat Islam, merupakan momentum mudik yang
dilahirkan dari paduan budaya dan agama,”kata salah satu pemerhati
budaya di Sumenep, RP. Moh. Muhlis, pada Media Center.
Menjelang
Syawal, atau Hari Raya Idul Fitri, para rantau banyak yang pulang
kampung. Meski tidak sedikit pula yang karena beberapa alasan tidak bisa
mudik. Jalanan ramai. Mereka yang berhasil melalui perjalanan sampai ke
rumah merasa seakan lahir kembali. Atau paling tidak ada rindu yang
tersembuhkan di sana.
“Di situlah kemudian mudik menjadi sakral.
Di sana banyak perkara yang disunnahkan pula dalam agama, semisal
silaturahim, sedekah dalam bentuk buah tangan dan lainnya,”tambah guru
PNS ini.
Dalam perspektif budaya, mudik menurut Muhlis juga lantas
menjadi sebuah tradisi yang terus subur. Di Madura, peristiwa mudik
terus berlangsung hingga puncak lebaran yang disebut Tellasan Topak.
“Tellasan Topak ini sebuah tradisi budaya yang lahir dari agama.
Setelah hari ke dua Syawal, biasanya banyak umat Islam yang puasa Sunnah
hingga hari ke tujuh. Jadi Tellasan Topak ini suatu tradisi yang luar
biasa. Makanya, tradisi ini tak hanya harus dipertahankan, namun juga
dikemas lebih baik lagi,”tutup Muhlis. ( M. Farhan, Esha )