Sumenep-Kominfo News Room : Majelis Ulama Indonesia (MUI) Propinsi Jatim mengimbau masyarakat agar tidak memberi shodaqoh (uang) kepada pengemis. Shodaqoh hendaknya diberikan melalui lembaga-lembaga sosial yang punya legalitas resmi dari pemerintah maupun masyarakat. Demikian disampaikan Ketua Umum MUI Jatim, KH. Abdusshomad Buchori usai Rapat Koordinasi Komite Penderita Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) se Jatim, Senin (30/04) di Hotel Sahid Surabaya. Menurut dia, meski memberi itu adalah perintah agama, tapi jika dilakukan secara terus menerus kepada pengemis akan membuat mereka malas dan tidak mau bekerja. Memberi uang di jalan, hanya akan memperbanyak jumlah pengemis, dan menjadikannya sebagai pekerjaan. “Islam melarang orang yang masih punya fisik kuat untuk meminta-minta di jalan. Islam juga memerintahkan seseorang untuk bekerja dalam mencari rizki yang halal,†tuturnya. Selain mengemis, mendirikan gubuk di tempat-tempat umum seperti stren kali, pasar dan di stasiun juga dilarang oleh agama. Selain menimbulkan dampak buruk bagi moral dan lingkungan, hal itu juga mengganggu ketertiban umum. Imbauan itu menurut Abdusshomad adalah sebatas tausiyah, namun meskipun sebatas tausiyah, imbauan itu juga mempunyai dasar-dasar agama yang kuat. â€Kami akan membawa masalah ini ke forum ulama yang lebih tinggi, untuk dijadikan suatu fatwa,†katanya. Asisten III Bidang Kesejahteraan Masyarakat, Setda Propinsi Jatim, Ir. Mulyadi WR, MMT selaku Ketua Pelaksana Komite PMKS Jatim mengatakan, permasalahan PMKS mustahil dapat diselesaikan sendiri oleh Kabupaten/Kota tertentu, tanpa didukung komitmen daerah yang lain. Hal ini menurut Mulyadi, disebabkan mobilitas PMKS sangat tinggi, dan tidak dapat dibatasi oleh garis-garis administrasi suatu daerah. Mereka dapat berpindah dari daerah satu ke daerah yang lain dengan cepat. â€PMKS yang ada di Surabaya sebagian besar bukan asli warga Surabaya,†kata Mulyadi. Komitmen daerah untuk menangani PMKS saat ini tergolong rendah. Buktinya, data pada pihaknya menyebutkan, baru ada 10 daerah yang mempunyai anggaran khusus untuk menangani PMKS, yakni Kabupaten Magetan, Ngawi, Tuban, Mojokerto, Pamekasan, Sumenep, Madiun, Kota Surabaya, Mojokerto, Blitar. Padahal menurut Mulyadi, pada 27 April 2004 lalu, seluruh Bupati dan Walikota se Jatim telah menandatangani perjanjian untuk melakukan penanganan serius kepada lima dari 28 jenis PMKS, yakni anak jalanan, gelandangan, pengemis, gelandangan psikotik, dan wanita tuna susila. Data PMKS Jatim 2006, anak balita terlantar 24.217 jiwa, anak terlantar 315.075 jiwa, anak korban kekerasan atau diperlakukan salah 1.087 jiwa, anak nakal 11.653 jiwa, anak jalanan, 16.634 jiwa, anak cacat 31.865, wanita rawan sosial ekonomi 236.200 jiwa, wanita korban kekerasan dan diperlakukan salah 2.062 jiwa, lanjut usia terlantar 154.543 jiwa, lanjut usia korban kekerasan dan diperlakukan salah 953 jiwa, penyandag cacat 79.899 jiwa, penyandang cacat bekas penyakit kronis 24.900 jiwa, tuna susila 6.342 jiwa, pengemis 295 jiwa, gelandangan 1.737 jiwa, bekas narapidana 12.183 jiwa, korban penyalahgunaan napza 6.455 jiwa, keluarga fakir miskin 1.617.368 jiwa, keluarga tak layak huni 471.241 jiwa, keluarga bermasalah psikologis 15.576 jiwa, komunitas adat terpencil 6.166 jiwa, masyarakat yag tinggal di daerah rawan bencana 208.352 jiwa, korban bencana alam 22.426 jiwa, korban bencana sosial/pengungsi 8.436 jiwa, pekerja migran terlantar 2.019 jiwa, pengidap HIV/AIDS 188 jiwa dan keluarga rentan 116.624 jiwa. ( JNR, Soek )