Sms Pengaduan :
news_img
  • ADMIN
  • 12-01-2018
  • 1050 Kali

Profil Arach Djamaly, Penulis Senior Puisi Berbahasa Madura

Media Center, Jumat ( 12/01 ) Nama Arach Djamaly di era generasi Sumenep kini, mungkin hampir tak dikenal. Berasal dari belahan timur pulau Garam, berkiprah di bidang pelestarian Bahasa Madura, sekaligus banyak berkarya (khususnya puisi) berbahasa Madura, tak lantas membuat namanya terpatri di setiap benak orang Madura, atau Sumenep khususnya. Padahal, eksistensi bahasa Madura, pasca pergumulannya dengan banyak era atau jaman beserta pengaruh asingnya, jelas tak lepas dari peran praktisinya.

Arach Djamaly memang bukan satu-satunya praktisi Bahasa Madura di Sumenep. Ada banyak tokoh yang lebih senior dari pria kelahiran Sumenep, 15 Februari 1939 ini. Seperti misalnya RP. Abdussukur Notoasmoro atau Pak Sukur, dan lainnya. Namun ada yang menarik dari sosok bernama asli Abd. Rahem ini. Bersama Pak Sukur, beliau merupakan tokoh yang konsisten dengan ejaan awal Bahasa Madura yang ditetapkan melalui Sarasehan 1973. Di samping itu juga, beliau bisa dikata satu-satunya praktisi Bahasa Madura di masanya yang menulis puisi berbahasa Madura.

“Ayah saya memang bertahan sekaligus mempertahankan ejaan tahun 1973,” kata Arif Setiawan, anak bungsu Arach Djamaly, pada Media Center, Jum'at (12/01).

Mengenai karya puisi Bahasa Madura Arach Djamaly dikumpulkan dalam sebuah buku yang hingga kini belum dicetak. Karya itu masih tetap bertahan dalam bentuk ketikan manual. Judul buku tersebut, “Rarengganna Tana Kerreng”, memuat salah satu karya puisi monumentalnya : Dhara Campor Mardha.

“Buku kumpulan puisi itu ditulis oleh bapak di tahun 1997,”kata Yeyep, panggilan Arif Setiawan.

Di samping buku kumpulan puisi itu, Arach Djamaly juga menulis kumpulan cerita pendek berbahasa Madura. Nah, untuk buku yang diberi judul Bato Ko’ong itu diterbitkan oleh Tim Nabara di Konkonan. “Kemudian ada juga novel berjudul Lalampanna Arya Wiraraja, yang berbahasa Madura dan juga yang alih Bahasa Indonesia,”tambah Yeyep.

Proses kreatif Arach Djamaly, menurut cerita Yeyep dimulai sejak masa mudanya. Meski tak jelas sejak mulai kapan, namun Yeyep mengaku ayahnya sudah menulis sejak 1960-an. Arach Djamaly berprofesi sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Posisi di Kandepdikbud, memang sesuai dengan minat dan bakatnya. Beliau lantas juga aktif dan ikut membesarkan Tim Nabara, yang salah satu pendirinya adalah Praktisi legendaries Bahasa Madura, Pak Sukur Notoasmoro yang disebut di atas. “Bapak juga sebagai Sekretaris Tim Nabara hingga wafatnya,” imbuh Yeyep.

Arach Djamaly lahir di Desa Karangduak (sekarang Kelurahan), namun besar di Guluk-guluk. Ayahnya, Djamaluddin Reksowidjojo merupakan punggawa yang berdinas di sana.

Yeyep mengatakan kalau kakeknya itu menjabat sebagai Demung. Ibu Arach Djamaly bernama R. Haera. Isterinya bernama Djoharjati. “Bapak itu anak ke 3 dari 5 bersaudara. Anak-anak bapak juga berjumlah sama,” jelas pria berkacamata ini.

Arach Djamaly wafat di Sumenep pada 6 Juni 2006. Lelaki pensiunan Kandepdikbud tahun 1995 itu memiliki pesan singkat bagi anak-anaknya. “Bapak selalu mengatakan, agar kami selalu menjaga andap asor. Tonjolkan diri sebagai orang Sumenep. Karena Madura itu banyak ragam,”tutupnya. ( M Farhan M, Esha )