Sms Pengaduan :
news_img
  • ADMIN
  • 02-07-2020
  • 1107 Kali

Rute Genealogi Tokoh-tokoh Awal Sumenep Dalam Tiga Fase Wilayah Kekuasaan

Media Center, Kamis ( 02/07 ) Melanjutkan tulisan sebelumnya, porsi genealogi dalam dinamika sejarah Sumenep begitu penting. Mengingat fakta sejarah tempo doeloe yang memang mengakar pada sejarah kekeluargaan.

Jika disederhanakan, dinamika sejarah Sumenep bisa dibagi dalam dua bagian. Bagian pertama dinasti-dinasti, dan yang kedua peta wilayah kekuasaan.

Dalam hal wilayah, Sumenep begitu dinamis. Yang selanjutnya cukup dibagi dalam tiga fase.

Fase pertama ialah masa pemerintahan Aria Wiraraja (1269 – 1293 M). Di masa ini, pemerintahan di Madura terpusat di Sumenep. Sehingga tak salah jika dikatakan bahwa Sumenep sejak awal memang merupakan kiblat pemerintahan sekaligus budaya di Madura.

Tahun 1293 merupakan rangkaian dari fase pertama, di mana saat itu Aria Wiraraja pindah ke Lumajang (Blambangan) atas keberhasilannya membantu Dyah Sangghrama Wijaya—menantu Kertanegara—dalam mengkonstruksi kembali kekuasaan Singhasari.

Lumajang sekaligus Sumenep (Madura) tetap di bawah Wiraraja, hanya di Sumenep ditunjuk sang adik, Aria Bangah untuk menjalankan roda pemerintahan di Sumenep.

Sayang, sejak masa pengganti Wiraraja hingga beberapa abad setelahnya (hingga abad 16), sumber otentik pemerintahan Sumenep belum ditemukan. Baru di kurun 1500-an Masehi, yakni hingga munculnya Tumenggung Kanduruhan sebagai penguasa Sumenep, yang notabene “kiriman” dari Jawa.

“Secara genealogi, penguasa Sumenep sebelum Kanduruhan adalah trah Bangah. Meski dalam versi lain dikaitkan dengan tokoh-tokoh Wali Sanga. Seperti Pangeran Mandaraga yang disebut anak Panembahan Kalijaga dari Kudus. Sementara dalam versi berbeda adalah anak Raja Joharsari, keturunan laki-laki dari Aria Bangah,” kata RB Nurul Hidayat, salah satu pemerhati sejarah di Sumenep, Kamis (02/07/2020).

Kedua versi itu jika dikaji cukup rumit, dan jika dihubungkan dengan penempatan tahun kekuasaan raja-raja tersebut menjadi anakronisme dalam sejarah.

“Sehingga lantas menjadi ahistoris,” kata Nurul.

Di masa Kanduruhan wilayah Sumenep disebut berada dalam kontrol Demak dan berlanjut dalam cengkraman Mataram, pasca invasi di masa Sultan Agung Anyakrakusuma.

Namun di masa dinasti Kanduruhan yang berasimilasi dengan trah penguasa Pamekasan—turunan Panembahan Ronggosukowati (memerintah sejak 1530 – 1616 M), wilayah kekuasaan Sumenep bertambah. Kejadian ini di masa yang disebut sebagai fase kedua.

Fase tersebut terjadi pada zaman pemerintahan Pangeran Jimat (Raden Ahmad) yang bergelar Pangeran Adipati Ario Cakranegara III (memerintah tahun 1731 – 1744 M).

“Kala itu Pamekasan bahkan menjadi bagian dari kekuasaan Sumenep,” kata RB Ja’far Shadiq, pemerhati sejarah lainnya di Sumenep.

Setelah terjadi angin perubahan kekuasaan, dengan masuknya kalangan santri di singgasana Sumenep, dimulailah yang namanya fase ketiga. Fase yang terjadi tepatnya di masa Panembahan Sumolo, putra Bindara Saut ini, wilayah tapal kuda ditukar dengan gugusan pulau yang hingga saat menjadi wilayah Kabupaten Sumenep.

“Kala itu khusus kepulauan juga ditunjuk bupati bawahan,” kata Ja’far.

Dalam literatur kuna, semisal di Kangayan (Kangean), bupati pertamanya ialah Raden Tumenggung Ario Suriyingrono (Suringrono), putra Tumenggung Kornel, salah satu putra Panembahan Sumolo.

Kendati ditukar, kendali atas daerah tapal kuda juga tetap dimainkan oleh anak cucu Panembahan Sumolo. Babak pertama suksesi oleh keluarga Sumenep ini dimulai dengan peristiwa penobatan Raden Bambang Sutiknya alias Pangeran Adipati Ario Prawiroadiningrat ke-I (yang juga putra Tumenggung Kornel, sekaligus juga cucu saudagar Cina muslim di Besuki—Han Soe Ki—dari pihak ibunya) sebagai adipati pertama Besuki. ( Han, Fer )