News Room, Kamis ( 18/02 ) Sejak dulu kala bahasa Madura sudah menjadi lingua franca alias bahasa pergaulan. Penuturnya tak hanya warga pulau Madura, namun tidak kurang dari 10 Kabupaten di Provinsi Jawa Timur. Bahkan di belahan dunia manapun hampir tidak sulit dijumpai istilah maupun warga Madura, mulai dari makanan khas, hingga perkumpulan keturunan Madura.
"Bahkan di tanah suci Makkah juga ada istilah keluarga Mandurah, atau Madura," kata salah satu pemerhati bahasa Madura di Sumenep, R. Abdul Karim atau Gus Karim, pada Media Center.
Khusus di Jawa Timur, masuknya bahasa Madura di beberapa Kabupaten di ujung timur pulau Jawa ini menurut Gus Karim, sejatinya memiliki benang merah yang sangat kuat dengan salah satu kabupaten di Madura, yakni Kabupaten Sumenep. Ceritanya bermula dari masa pemerintahan Pangeran Jimat (nama kecilnya Raden Ahmad) salah satu Raja Sumenep yang bergelar Pangeran Adipati Aria Cakranegara III (memerintah sejak 1707 hingga 1737 Masehi). Beliau ialah salah satu Raja dari Dinasti Yudanegara yang memiliki cita-cita besar meluaskan wilayah kekuasaan Sumenep.
"Di masanya, Sumenep dan Pamekasan berada di satu kendali. Meski secara de jure, Pamekasan tetap memiliki Kepala Negara, dan tetap diberi hak otonom dalam melangsungkan pemerintahan sehari-hari. Kekuasaan Pangeran Jimat atas Pamekasan ini tak bisa lepas dari asal usulnya yang secara garis pancer merupakan trah Pamekasan. Ayahnya, Pangeran Rama (Cakranegara II) merupakan putra sulung dari Raja Pamekasan, Pangeran Gatutkaca alias Pangeran Ario Adikara ke-I yang diambil menantu oleh Tumenggung Yudanegara (Wongsojoyo), Raja Sumenep," katanya.
Tak hanya Sumenep dan Pamekasan, Pangeran Jimat juga meluaskan kekuasaan hingga ke pulau Jawa, meliputi sebagian daerah Blambangan, dan Besuki. Bahkan beliau juga memerintahkan sebagian warga Sumenep dan Pamekasan untuk membabat daerah taklukannya tersebut, yang selanjutnya menjadi cikal bakal warga daerah-daerah tersebut hingga sekarang.
"Sayang, setelah mangkatnya Pangeran Jimat, tidak ada pengganti beliau yang sama cakap dan sekaligus juga memiliki ambisi besar untuk meluaskan pengaruh Sumenep. Namun, daerah-daerah taklukan tersebut tetap berada di bawah Sumenep, kecuali Pamekasan. Dan di masa pemerintahan Panembahan Natakusuma ke-I (Panembahan Sumolo Asiruddin), putra Bindara Saut, melalui kesepakatan politik dengan Belanda, daerah tapal kuda di ujung pulau Jawa tersebut oleh Panembahan Sumolo ditukar dengan gugusan pulau yang hingga saat ini tetap menjadi bagian dari wilayah Kabupaten Sumenep," tambah Karim.
Keputusan Panembahan Sumolo (yang memerintah sejak tahun 1762 hingga 1811 Masehi) tersebut ternyata berimplikasi positif, karena pada kenyataannya, daerah tapal kuda yang ditukar tersebut selanjutnya masih berada di bawah kendali trah Bindara Saut. Hal itu dikarenakan, salah satu cucu Panembahan Sumolo yang bernama Raden Bambang Sutiknya atau Pangeran Sutiknya memperoleh dukungan politik dari kakek pihak ibunya (seorang saudagar kaya raya berdarah Cina Muslim) di Besuki, untuk menduduki kursi Adipati pertama di Kadipaten Besuki.
"Tak hanya itu, selanjutnya mulai dari Kabupaten Panarukan atau Situbondo, Banyuwangi, Jember, dan Bondowoso hingga Probolinggo, serta sebagian besar daerah di Jawa Timur diperintah oleh keturunan Pangeran Sutiknya atau Pangeran Adipati Ario Prawiraadiningrat ke-I," tutup Gus Karim yang juga merupakan salah satu keturunan Pangeran Sutiknya ini. ( Farhan, Fer )