News Room, Senin ( 10/05 ) Pelaksanaan Unas hingga saat ini masih terus menuai kontroversi. Di tengah peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) tanggal 2 Mei 2010 kemarin, polemik seputar ujian yang mematok standar kelulusan 5,50 itu ikut menyumbangkan warna. Betapa tidak, dalam momentum sakral bagi dunia pendidikan di Indonesia ini, terselip angka panjang ketidak lulusan peserta Unas 2010, kendati pemerintah menyiapkan antisipasi berupa ujian susulan. “Pada dasarnya yang menjadi masalah adalah sistem Unas itu sendiri. Seharusnya Unas dijadikan sebagai pengukur peningkatan mutu,â€Âkata Ketua Dewan Pakar LSM Pendidikan Pornama Sumenep, H. Nurul Hamzah, M.Pd, pada News Room, Senin (10/05). Oleh karenanya, H. Nurul Hamzah, M.Pd berpendapat saat ini tak perlu mempersoalkan mengenai pentingnya Unas dihapus atau tidak. Yang lebih penting adalah adanya komitmen pemerintah selaku decision maker untuk kembali pada tujuan awal Unas, yakni sebagai upaya perbaikan mutu. “Tujuan awalnya kan sebagai pengukur mutu dan sebagai rekomendasi didalam pelaksanaan ujian nasional. Tapi dalam perkembangannya yang tampak justru sebagai penentu kelulusan,†ujarnya. Hal inilah yang menurutnya kemudian melahirkan pro kontra. Kendati ada kebijakan untuk mengulang bagi mereka yang tak lulus, namun hal itu tetap dinilai H. Nono masih kurang efektif. Ia beralasan dalam temuan lapangan masih banyak lembaga yang melakukan segala cara untuk membantu,, kelulusan anak didiknya demi menjaga image, sekaligus eksistensi lembaganya. Jadi yang saya lihat ujian susulan ini hanya sekadar untuk mempertahankan kebijakan (Unas; red). Akibatnya di kalangan kita yang muncul malah political commitment untuk mengkamuflase hasil Unas, bukannya professional commitment,â€Âtambah H. Nono. Kedepan ia berharap pelaksanaan Unas mengacu pada kebijakan yang lebih populis. Sistem akumulasi nilai P dan Q atau nilai 2 kali semester yang pernah diterapkan pada masa lampau menurutnya masih relevan diterapkan kembali. “Jadi artinya rapor semester pertama dan kedua itu mempengaruhi hasil ujian nasional. Kalau sekarang kan ditekankan bahwa pada Unas tak boleh ada angka di bawah 4,25. Ini kemudian yang jadi persoalan. Karena murid yang pada awalnya bagus, kemudian karena faktor psikologis misalnya, nilainya turun di waktu Unas, maka ia tak lulus,â€Âujar H. Nono. Dulu, kata Nono, siswa memiliki reward dari hasil belajar sebelum Unas, namun saat ini kebijakan itu sudah dihapus. Meski saat ini masih ada sistem akumulasi, namun tak bisa kurang dari standar kelulusan yang dipatok pemerintah. “Ya harapan kami, nanti bisa kembali pada kebijakan yang lebih populis. Sesuai dengan tema hardiknas tahun ini, kembali pada karakter bangsa,â€Âpungkasnya. ( Farhan, Esha )