![news_img](https://sumenepkab.go.id/uploads/images/news_news/sumenep_1502270077.jpg)
Media Center, Rabu ( 09/08 ) Kedatangan sang saudara tua (Jepang) ke Bumi Nusantara tidak membawa secuil pun kebaikan bagi rakyat pribumi. Sebaliknya, kesengsaraan jilid ke dua yang berbab-bab datang silih berganti. Berhalaman-halaman lagi. Tebal. Hampir setebal buku sejarah penjajahan di muka bumi.
Istilah saudara tua ini merupakan istilah yang dikenalkan sendiri oleh kaum Nippon itu. Propaganda dilancarkan. Kaum pribumi diapusi. Maklum, posisi adik memang gampang untuk hal-hal berbau itu. Namun tak seperti kakak yang sesungguhnya, saudara tua yang satu itu justru mau menang sendiri. Padahal karena lebih dewasa, mestinya sang kakak lebih banyak mengalah. Nah, yang ini super terbalik.
Sebagai bagian dari Nusantara,
Madura, dalam hal ini Sumenep juga tak luput dari kedatangan “kakak”
tiban itu. Perlakuan Jepang juga sama, tak beda. Sama-sama
mendapat perlakuan kejam dan tak beradab. Disamping menyiksa rakyat,
harta mereka juga dijarah. Jepang juga memusuhi ulama. Para kiai banyak
ditangkap karena dianggap berbahaya. Istilah kempey, atau penyiksaan
yang banyak berujung maut itu lebih mengerikan daripada hantu manapun.
“Ayah saya bahkan sampai tuli dan menderita cacat,”kata Siti Hindun,
salah satu putri keaji atau kiai mengaji atau kiai ‘langgaran’ di
Sumenep.
Beruntung, tokoh kiai dari salah satu pulau di Kabupaten
Sumenep itu tak sampai harus meregang nyawa. Namun banyak yang
seberuntung beliau itu. Beberapa di antaranya sudah ditemukan menjadi
mayat. Bahkan tak sedikit yang tak bisa lagi dikenali.
Memang,
menurut cerita RB. Muhlis, salah satu pemerhati sejarah di Sumenep,
kiai-kiai di Sumenep menjadi salah satu sasaran penangkapan tentara
Jepang. Salah satunya ialah kiai kharismatik Sumenep, K. RP. Mu’amar
atau Kiai Wongsoleksono di Desa Pandian, Sumenep. Salah satu tokoh yang
berperan dalam berdirinya NU di Sumenep. Beliau juga merupakan Imam
pertama dalam sejarah keta’miran masjid Jami’ Panembahan Sumolo. Tokoh
sentral dalam peristiwa Perang Pacca’ yang terkenal di dekade awal
1970-an.
Kisah penangkapan Kiai Wongsoleksono diawali suatu
ketika, Jepang memberi pengumuman pada masyarakat, agar di malam hari
tidak dibolehkan menyalakan lentera atau penerangan di dalam maupun
sekitar rumah. Usut punya usut, aturan itu dibuat oleh “saudara tua” itu
untuk menjarah harta “saudara muda”.
Kiai Wongsoleksono ternyata
tidak mengindahkan aturan tersebut. Beliau tetap menyalakan penerangan,
khususnya di langgar dekat dalem-nya. Kenyataan itu jelas memicu reaksi
kaum Jepang. Beberapa serdadu lantas mendatangi kediaman Kiai
Wongsoleksono di suatu malam.
“Anehnya, meski Kiai ada di hadapan mereka, tapi tidak terlihat,”kata Gus Muhlis.
R. Moh Arif Djamal, salah satu cucu Kiai Wongsoleksono membenarkan
kisah tersebut. Tak hanya Kiai Wongso, bahkan tak satupun anggota
keluarga beliau sekaligus jamaah di langgar yang terlihat oleh Jepang. “Karena tak menemukan kakek saya, Jepang merasa kesal. Meski kemudian mereka balik pulang,”kata Gus Arif.
Sejak hari itu rumah Kiai Wongsoleksono diawasi. Sehingga suatu hari di waktu siang, puluhan serdadu Jepang berhasil membawa Kiai Wongso ke markas mereka.
“Ibu saya bahkan sampai shock. Karena pada umumnya,
siapapun yang dibawa oleh serdadu Jepang banyak yang tak kembali.
Sekalipun kembali itu pun banyak beberapa waktu setelah dipulangkan
meninggal dunia, akibat efek siksaan berat yang diterima,”kata Drs. KR. Hasanuddin Wongso, salah satu putra Kiai
Wongsoleksono.
Kekhawatiran keluarga dan warga sekitar dalem Kiai
Wongsoleksono akhirnya sirna. Tak sampai malam hari, Kiai Wongsoleksono
pulang kembali dengan diantar beberapa serdadu, dalam keadaan segar
bugar. Bahkan beliau mendapat banyak buah tangan dari Jepang. Seperti
roti dan buah-buahan.
“Kai (ayah; red) lantas menyuruh kami memakan oleh-oleh tadi, disamping dibagikan pada para tetangga karena lumayan banyak,”kata Kiai Gus Hasan, sambil tertawa.
Konon, kata Kiai Hasan,
pihak Jepang terkesan pada sosok Kiai Wongsoleksono yang bisa dengan
fasih berbahasa Jepang. Mereka juga terkesan dengan kedalaman ilmu Kiai
Wongso yang luas. Sehingga di sana, Kiai Wongso bukannya diinterogasi
namun berdiskusi banyak hal dengan pembesar Jepang di situ.
“Setahu saya, Kai ini juga bisa bahasa Belanda. Ketemu orang Cina juga
biasa bercakap-cakap bahasa mereka. Saya tidak tahu juga di mana beliau
belajar bahasa-bahasa asing itu. Karena setahu saya Kai itu cuma mondok,
dan tak sekolah umum,”imbuh Kiai Gus Hasan, sambil tersenyum.
Sejak saat itu, konon Jepang membiarkan meski di kediaman Kiai
Wongsoleksono memakai penerangan atau lentera. Lambat-laun di sekitar
dalem beliau juga warga mulai berani memakai lentera. Hal itu
berlangsung berapa lama hingga Jepang hengkang dari Bumi Jokotole. ( M. Farhan, Esha )