Media Center, Senin ( 20/11 ) Pulau
Madura memiliki banyak keunikan. Salah satu keunikannya ialah bahasa
Madura. Bahasa ini tidak hanya menjadi bahasa di pulau garam, dengan
empat kabupatennya. Ia juga melenggang ke wilayah tapal kuda. Praktis,
sedikitnya sekitar 10 kabupaten di Jawa Timur menggunakan bahasa ini.
Sehingga tak salah jika bahasa Madura merupakan bahasa terbesar di Nusantara selain bahasa Jawa dan Sunda.
Di samping itu,
ada lagi keunikan Madura yang hampir tak dimiliki daerah lain di
Nusantara. Madura tidak hanya mengalami satu peristiwa kemerdekaan. Ia
bahkan mengalami hal itu sebanyak tiga kali.
“Kali pertama jelas.
Yaitu saat Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia (RI) tanggal 17
Agustus 1945,”kata R. B. Muhlis, salah satu pemerhati sejarah di
Kabupaten Sumenep pada Media Center, Senin (20/11).
Bahkan setelah
jelas terlihat kesungguhan Madura menjadi bagian RI dengan sikap
patriotik yang ditunjukkan para putra terbaiknya. Tidak sedikit juga
menjadi bunga bangsa dan mengakhiri hidupnya di ujung bedil
kaum kafir Belanda. Di antaranya Letnan R. Moh. Ramli
dan K. H. Abdullah Sajjad.
Namun Madura tampaknya
memang menjadi primadona sejak dahulu kala. Kendati sudah jelas kalah
Belanda mencari peluang untuk duduk kembali dengan cara memecah belah.
Madura dianggap sebagai salah satu titik penting yang perlu pecah dari
RI. “Akhirnya di awal-awal 1948 taktik Belanda berhasil, Madura menjadi
sebuah negara. Ditunjuk sebagai Wali Negara ialah Pangeran Cakraningrat.
Indonesia berubah menjadi Republik Indonesia Serikat (RIS) dengan
negara-negara bagian,”kata Muhlis.
Tanggal 20 Februari 1948, seperti
dikatakan Muhlis, merupakan saat pengakuan terhadap status negara Madura
oleh Letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Saat itu memang terjadi
pro-kontra khususnya di kalangan rakyat Madura. Pasalnya,
hal itu dinilai sebagian kalangan justru menguntungkan Belanda. Sebagai
bagian dari politik pecah belah untuk melemahkan kedaulatan RI. Tapi
kemerdekaan kedua bagi Madura ini tetap tak terelakkan.
Meski begitu,
hal tersebut tak berlangsung lama. Situasi ini lantas disadari oleh
rakyat sekaligus para petinggi Madura sebagai sesuatu hal yang harus
secepatnya diubah. Puncaknya, Wali Madura Cakraningrat sendiri pada
tanggal 28 Januari 1950 lantas menyerahkan kekuasaannya kepada DPR
Madura. Penyerahan itu sedikit alot. Karena DPR Madura menolak. Parlemen
lantas menganjurkan agar Wali Negara menyerahkan langsung pada RIS.
“Nah,
tahun itu merupakan kemerdekaan ketiga Madura. Yaitu dibubarkannya
Negara Madura pada tahun 1950. Madura kembali bergabung dengan RI,”
tutup Muhlis. ( M. Farhan M, Fer )