
Media Center, Rabu ( 19/05 ) Bagi warga Madura, Sumenep khususnya, Tellasan Topa’ merupakan bagian dari budaya yang berkategori sakral. Disebut
sakral, karena sebelumnya, sebagian umat Islam ada yang menjalani puasa sunnah
enam hari sejak di hari kedua bulan Syawal. Secara tradisi, Tellasan Topa’
digelar pada tanggal 8 Syawal, atau enam hari pasca lebaran Idulfitri.
Dalam kajian historis, tradisi ini berlangsung turun-temurun
sejak masa pembumian awal Islam di Nusantara, khususnya di tanah Jawa. Islam
yang diperjuangkan dan dibawa oleh tokoh-tokoh Wali Sanga Jawadwipa. Topa’ atau
ketupat, merupakan makanan berbahan dasar beras yang dibungkus anyaman janur
kuning. Biasanya, topa’ disajikan dalam bentuk menu berjenis soto, opor,
campor, kaldu, dan lainnya.
Di antara sekian banyak makna Tellasan Topa’ atau lebaran ketupat, salah satu
pelajaran yang penting untuk diambil dalam kehidupan sehari-hari ialah sikap
guyub, gotong royong, saling membantu, dan saling memberi. Sikap tersebut
seringkali kita temui, khususnya di masa lampau, tentang kisah dan
pengalaman-pengalaman dalam proses menyambut telasan topa’.
Dahulu, warga menyiapkan topa’ dengan swadaya. Mulai dari mencari
janurnya, lalu menganyam, dan selanjutkan mengisi wadah atau orong dalam bahasa
Maduranya, dengan beras. Sebelum selanjutnya mengukus menggunakan tungku berapi.
Semuanya, dilakukan bersama-sama. Melibatkan banyak anggota keluarga, sanak
kerabat dan tetangga. Saling membantu satu sama lain. Dalam suasana suka cita
dan gembira ria.
Kegiatan bertukar menu masakan ketupat, saling silaturrahim
terasa begitu mengasyikkan. Mungkin bagi generasi yang mengalami masa kecil di
tahun 90-an masih bisa mengingatnya.
Lambat laun, suasana ini mulai bergeser saat orong topa’
atau wadah topa’ mulai dijual bebas di pasar-pasar maupun di pinggir jalan.
Warga hanya tinggal mengisinya dengan beras dan mengukusnya. Suasana guyub
masih agak terasa.
Namun pasca tahun ‘90-an, di tengah semakin sibuknya
aktivitas banyak orang, kegiatan menyambut ketupat lebih instan lagi, yakni
dengan membeli ketupat masak. Warga cukup membelahnya dan menyajikannya di saat Tellasan Topa’, baik pada keluarga di rumah, atau sanak kerabat dan tetangga
dekat.
Sudah jarang ditemui aktivitas perrumah atau perkeluarga
yang masih menyempatkan diri membuat ketupat sendiri. Entah apa karena budaya
instan mulai menyelimuti kehidupan sehari-hari kita, atau faktor waktu yang
kadang banyak banyak orang sudah tidak sempat lagi meluangkannya, sebab kesibukan yang tambah padat.
Namun alih-alih menghidupkan tradisi masa lampau, tak
jarang warga yang sudah rindu dengan
ketupat dan suasana guyub dalam tradisi Tellasan Topa’, justru cukup dengan
membelinya di warung-warung soto, campor, dan rumah makan yang menyediakan menu Tellasan Topa’.
Nah, asyik bukan membayangkan suasana Tellasan Topa’ di masa lampau? Ingin menghidupkannya kembali? Yuk, kita coba! ( Han )