Sms Pengaduan :
news_img
  • ADMIN
  • 04-08-2015
  • 1308 Kali

Nilai-Nilai Perjuangan Bangsa, Kini Mulai Memudar

News Room, Rabu ( 05/08 ) Tujuh puluh tahun silam Indonesia secara formal merdeka. Namun pasca pembacaan Teks Proklamasi oleh Dwi Tunggal Soekarno-Hatta, bukannya usai, perjuangan bangsa ini terus berlanjut ke babak baru, yakni mempertahankan kemerdekaan. Dalam catatan sejarah pra kemerdekaan, bisa kita lihat, betapa masih kentalnya nilai-nilai perjuangan yang dimiliki generasi muda kala itu. Mampukah kurun waktu tujuh puluh tahun sesudahnya memudarkan atau bahkan melunturkan nilai-nilai tersebut ?.

“Sebenarnya yang memudarkan nilai-nilai perjuangan ini bukan masa tujuh puluh tahun atau berapa puluh tahun di atas masa itu, melainkan pengaruh-pengaruh negatif yang notabene bukan budaya asli kita, seperti ambil contoh budaya materialisme atau matre kata orang jaman sekarang,”ujar Rabi’atul Adawiyah, salah seorang guru di Kabupaten Sumenep, pada News Room.

Pengaruh materiasme ini menurut Rabi’atul sangat berbahaya, tidak hanya melunturkan nilai-nilai perjuangan, lebih dari itu bisa menghancurkan hasil-hasil perjuangan para pendahulu. Padahal keduanya menurut ibu tiga anak ini jelas harus dilestarikan satu sama lain.     Kondisi bangsa yang dipengaruhi materialisme ini juga diamini oleh Soenjoto, Ketua Legiun Veteran Kabupaten Sumenep.

Menurut ia, saat ini semuanya sudah diukur dengan uang. “Mulai dari mau jadi pegawai, sudah main uang. Mau nyalon mulai dari pemilihan RT hingga Presiden, yang namanya money politic jelas tak bisa dihindari,”tambahnya.

Menurut Soenjoto, nilai-nilai perjuangan itu tidak bisa bersanding dengan materialisme. Karena ruh dari nilai-nilai perjuangan adalah ketulusan dan keikhlasan.

“Bahkan, ketika masa-masa perjuangan dulu ada istilah bahwa peluru itu ada alamatnya. Artinya, kebanyakan mereka yang tidak selamat dari hantaman peluru-peluru maut penjajah itu ya notabene mereka yang berjuang karena pamrih,”tuturnya lagi. Ia memang punya kenangan tersendiri tentang istilah “peluru memiliki alamat” itu.

Konon, istilah itu lahir dari peristiwa di daerahnya. Kala itu, saat terjadi clash, rumah-rumah maupun toko-toko milik warga pribumi sempat dibiarkan kosong, karena si empunya mengungsi ke tempat-tempat yang aman dari medan baku tembak. Nah, menurut Soenjoto kondisi ini ternyata dimanfaatkan oleh sebagian kecil oknum pejuang untuk menyatroni barang-barang di dalam rumah dan toko-toko yang kosong penghuninya itu.

“Ya, yang jelas karena takdir juga. Namun, memang rata-rata yang kena peluru penjajah itu sebagian memang mereka-mereka yang berjuangnya tidak tulus itu. Ya, banyak yang diantaranya teman-teman dekat saya sendiri,”jelas Njoto, panggilan akrab Soenjoto. ( Farhan, Esha )