Sms Pengaduan :
news_img
  • ADMIN
  • 21-11-2012
  • 753 Kali

Ratusan Pejabat Di Daerah Terlibat Kasus Pidana

News Room, Rabu ( 21/11 ) Penyalah gunaan jabatan publik untuk mengeruk keuntungan pribadi, tampaknya semakin banyak saja. Dalam laporan singkat yang diterima Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Gamawan Fauzi, Senin (19/11) lalu, ada sebanyak 474 pejabat daerah yang terseret tindak pidana. Mayoritas penyimpangan itu adalah melakukan tindak pidana korupsi. Data tersebut disampaikan Gamawan pada acara diskusi antara Mendagri, Kemenkum HAM, ICW, dan KPK di Jakarta kemarin (20/11). Dia menyebutkan, data tersebut baru diperoleh dari laporan Sekretaris Daerah (Sekda). Rencananya, data tersebut dilengkapi lagi, termasuk dari Kejaksaaan. “Sekarang saja sudah ada 474 (pejabat daerah). Janga-jangan minggu depan sudah 1.000..” Menurut Mendagri, pemerintah pusat bertindak tegas terhadap pejabat bermasalah tersebut. Sebagian besar pejabat itu sudah diberhentikan. Ada yang dicopot dan tidak menjabat lagi. Dia menjelaskan, kasus yang menjerat ratusan pejabat daerah itu beragam. Namun, dia mengaku sangat cemas setelah tahu banyak yang tersandung masalah korupsi. Apalagi, beberapa di antaranya kembali berstatus pejabat, karena masih menduduki posisi meja strategis. Oleh sebab itu, dalam waktu dekat pihaknya bakal memperbaiki undang-undang yang ada. Sebab, peraturan yang ada kerap ditapsirkan berbeda. Terutama, saat ada kata-kata multitafsir, seperti dapat. “Itu kan relatif, bisa iya, bisa tidak. Jadi, harus ada perbaikan,”imbuhnya. Muaranya, pejabat bakal dicopot atau diberhentikan karena kasus pidana. Menurut Gamawan, selama ini ada perlawanan dari pejabat bermasalah tersebut. Begitu juga saat ada opsi, apakah pejabat nakal itu bakal diberhentikan secara terhormat atau tidak. Termasuk perlu tidaknya mereka mendapatkan dana pensiun atau hanya gaji. Selama ini dirinya menghadapi dilema untuk bersikap tegas. Putusan pemecatan rawan digugat. Biasanya, pejabat itu tidak rela begitu saja posisinya lepas. Jadi, dia akan berjuang keras, bahkan hingga melakukan penijauan kembali (PK). Menurut Gamawan, fakta yang dia ketahui, PK itu terlalu mudah diterima Mahkamah Agung (MA). Namun, dia tidak bisa berbuat apa-apa, karena semua itu wewenang MA. Dia hanya menyayangkan kalau ada kasus pejabat daerah yang PK-nya bisa dilakukan hingga 2 kali. “Kalau seperti ini, berarti tidak ada putusan tetap dong,”katanya. Kegundahan Mendagri itu mendapat dukungan Menkum HAM, Amir Syamsuddin. Dia membenarkan bahwa PK yang diajukan pejabat bermasalah selama ini relatif mudah diterima dan dikabulkan. Padahal, dia ingat betul kalau belasan tahun ke belakang, PK sangat sulit dilakukan. “Sekarang, tanpa kehadiran terdakwa juga bisa dilakukan sidang PK,”katanya. Dia berharap MA bisa lebih selektif. Ini supaya aturan yang ada bisa ditegakkan dengan cepat dan tepat. Apalagi, proses PK juga membutuhkan waktu lama. Kalau itu sulit, Amir ingin agar sidang PK tidak mudah menjatuhkan atau mengalahkan putusan sidang sebelumnya. Menyikapi pernyataan Mendagri dan Menkum HAM, Hakin Agung Djoko Sarwoko memaparkan, pihaknya telah mengambil langkah untuk memperketat penerimaan permohonan PK. Ketua Kamar Pidana MA tersebut mengatakan, MA telah menggelar rapat pleno kamar, yang salah satunya membahas soal PK. “Kami sudah sepakat untuk PK yang pemohonnya tidak hadir dan tidak menanda tangani berita acara sidang, harus dinyatakan tidak dapat diterima (permohonan PK-nya),”kata Djoko kemarin. Sementara itu, Badan Pekerja ICW, Emerson Yuntho berharap aturan yang ada bisa tegas ditegakkan. PNS yang melakukan korupsi harus dipecat. “Negara Indonesia sedang berusaha memberantas korupsi. Koq pegawai bermasalah tidak dipecat,”katanya. Menurut dia, pasal 23 ayat 5 Undang-Undang Kepegawaian, jelas menyebut bahawa PNS diberhentikan dengan tidak hormat, karena melanggar sumpah dan janji. Nah, melakukan korupsi itu sudah melanggar sumpah. Sayangnya, pemerintah suka berkilah sendiri. Buktinya, dala UU juga disebutkan bahwa PNS bisa diberhentikan, kalu dihukum lebih dari 4 tahun. Aturan tersebut jelas bertentangan dengan pasal lain, seperti melanggar sumpah. Jadinya, banyak pejabat daeerah yang mencoba dihukum ringan, agar tidak dipecat. ( JP, Esha )