News Room, Jumat ( 09/10 ) Bulan Dzulhijjah selaku bulan penutup dalam kalender Hijriah beberapa hari lagi akan berakhir. Seperti yang sudah-sudah, bulan inipun juga akan menjadi penutup bagi tahun 1436 Hijriyah saat ini.
Tak lebih dari sepekan ke depan, umat Islam akan memasuki tahun baru 1437 Hijriah. Tak kurang dari 1393 silam (dalam hitungan kalender Gregorian), saat peristiwa titik balik kehidupan Islam terjadi.
Saat itu (tepatnya bulan September 622 Masehi) ditandai dengan hijrahnya Rasulullah SAW dan umatnya yang beriman, dari tanah haram Makkah menuju Yatsrib (Madinah). Kala itu, sistem penanggalan Arab (pra Islam) masih dipakai.
Sistem itu merupakan gabungan sistem kalender berdasarkan siklus sinodik bulan (qamariyah) dengan matahari (syamsiyah). Peredaran bulan digunakan, dan untuk mensinkronkan dengan musim dilakukan penambahan jumlah hari (interkalasi). Sistem ini bertahan hingga tahun ke-9 pasca hijrahnya Rasul SAW, sebelum akhirnya direvisi karena ada larangan interkalasi.
“Siklus sinodik bulan berbeda dengan sistem kalender matahari. Bilangan hari dalam satu tahun qamariyah menggunakan rumus 12 (bulan) dikalikan 29,53059 (hari), sehingga dalam satu tahun ada 354,36708 hari. Sehingga hitungannya kurang 11 hari dibanding jumlah hari dalam penanggalan Masehi,” kata salah satu tokoh agama di Sumenep, Drs KR Ismail Wongsoleksono, pada News Room.
Awalnya, menurut Kiai Isma’il, tak ada hitungan tahun dalam kalender Arab. Setiap tahun ditandai dengan peristiwa penting yang terjadi di kurun tersebut. Seperti tahun kelahiran Nabi SAW yang dikenal dengan sebutan "Tahun Gajah". Disebabkan tahun itu terjadi peristiwa percobaan menghancurkan Ka bah oleh sekelompok tentara bergajah pimpinan Abrahah, Gubernur Yaman (salah satu provinsi Kerajaan Aksum, yang kini termasuk wilayah Ethiopia; red).
“Penetapan angka pertama tahun kalender Islam dimulai sejak era khilafah kedua, Umar Ibnul-Khaththab ra. Awalnya banyak opsi dari para shahabat. Ada yang mengusulkan tahun wafat Nabi SAW dijadikan tahun pertama. Sebaliknya ada yang malah usul agar tahun kelahiran Rasulullah SAW saja yang dijadikan awal tahun. Akhirnya Khalifah Umar ra memberi jalan tengah dengan menetapkan peristiwa hijrahnya Rasul SAW sebagai tahun 1 Hijriah,” jelas Kiai Ismail.
Saat itu, tanggal 1 Muharram 1 H bertepatan dengan tanggal 16 Juli 622 M (sekitar kurang lebih 2 bulan sebelum terjadi peristiwa hijrah). Kini, sudah 1436 tahun lebih kenangan hijrah tersebut. Kenangan tersebut tak hanya dilihat dari sudut pandang historis: perjalanan hijrah dari Makkah ke Madinah; melainkan peristiwa hijrah umat pilihan ini menuju kemenangan.
“Peristiwa itu adalah awal kemenangan Islam. Sejarah telah mencatat secara gemilang, bahwa dimulai dari Yatsrib kepak sayap Islam melebar hingga menaungi seluruh penjuru dunia,” kata Kiai Ismail.
Kini, umat Islam sudah tidak perlu lagi hijrah ke mana-mana, dalam konteks tekanan dari kaum kafir yang mengganggu ketenangan beribadah. Namun menurut Kiai Ismail, hijrah secara kontekstual tetap tidak pernah berakhir.
“Saat ini hijrah kita dari hal-hal yang buruk menuju pada hal-hal yang baik. Hijrah secara lahiriah juga tetap menjadi kebiasaan orang-orang shalih dan para penyebar risalah agama. Mereka selalu hijrah untuk mengembangkan sayap Islam dan untuk kepentingan dakwah,” tambahnya. ( Farhan, Esha )