News Room, Selasa ( 01/11 ) Sastra bukanlah benda mati. Sastra seperti mahluk hidup lainnya: mengalami tumbuh kembang, bisa sakit, sehat, bahkan bisa mati. Seperti manusia, sastra juga memiliki paras; ada yang cantik atau tampan, juga bisa sebaliknya. Sastra juga ada yang muda dan yang tua. Ia juga bisa abadi seperti perubahan itu sendiri.
“Itulah mengapa gerakan sastra menjadi penting, memang sastra tidak boleh didiamkan, sastra harus bicara, sastra bukan benda mati yang hanya dipajang di etalase atau rak-rak buku. Kalau boleh saya analogikan karya sastra bagaikan seorang wanita cantik secara fisik dan menarik untuk diterjemahkan, namun kecantikan tersebut pada akhirnya terhenti oleh waktu. Akibatnya, pandangan akan mengalihkan perhatian kita ke wanita yang lain walaupun masih menyimpan kenangan tentang dirinya,” kata Syaf Anton WR, suatu ketika di antara malam yang jingga.
Dalam konteks sastra, menurut suami dari Lilik Rosida Irmawati ini, keindahannya bukan hanya dari struktur katanya, tapi makna yang terkandung di dalamnya. Tapi semuanya akan lapuk oleh waktu dengan hadirnya karya sastra yang lebih progresif dengan penampilan dan style baru, genre baru, pola baru yang lebih mempesona para pembacanya. Sebagai teks, karya sastra tidak akan berarti apa-apa bila dipandang sebagai sesuatu yang sakral, tanpa dilakukan sebuah interpretasi terhadapnya.
“Akibatnya, sastra tidak akan menggumam dan tidak memberikan pencerahan pada publik penikmatnya. Dan bahkan akhirnya sastra akan dipandang sebelah mata,” imbuh pria dengan rambut lepas sebahu itu.
Sehingga kemudian, sastra perlu digerakkan, disampaikan agar nilai sakralnya dapat diterjemahkan secara utuh oleh pembaca, penikmat, dan publik. Agar karya yang tidak hanya bergerak di bidang bahasa, dengan ungkapan yang indah dan imajinasi yang tinggi tanpa harus melihat realitas yang terjadi di masyarakat.
Belajar dari generasi sastra sebelumnya, sastra bukan sekedar teks, namun telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat.
“Sebagaimana gerakan budaya lokal masa lalu, yang ditandai dalam ungkapan-ungkapan bijak, disampaikan dengan cara elegan, dekat dan sederhana,” tutur peraih penghargaan dari Gubernur Jawa Timur sebagai kreator seni bidang sastra pada Hari Jadi Provinsi Jawa Timur ke-71 pada 12 Oktober 2016 lalu.
Anton juga menegaskan, gerakan sastra sebagai bentuk apresiasi penanaman jiwa, sepatutnyalah mampu mengajak masyarakat dan pelajar untuk mulai menyukai kegiatan membaca dan menulis sastra. Di setiap daerah banyak bertumbuhan pelaku sastra yang perlu dan harus menggerakkan karya-karyanya, dan disampaikan kepada publik yang lebih terbuka.
“Dibanding jumlah penduduk yang ada, penyuka atau peminat sastra jauh tidak sebanding dengan keinginan, dan akibatnya sastra merasa belum dihargai seutuhnya, kurang dipedulikan, belum menyentuh seperti yang diharapkan,” ungkapnya. ( M. Farhan, Fer )