Media Center, Jumat ( 11/08 ) Pemakaman
Raja-raja Sumenep atau Asta Tinggi merupakan salah satu situs penting
di Sumenep. Dibangun pertama kali di kurun 1600-an Masehi. Kompleks
keramat ini jelas lebih tua dari bangunan keraton di Kelurahan
Pajagalan, dan Masjid Jami’ Panembahan Sumolo.
“Yang pertama kali
dimakamkan di sana ialah Tumenggung Anggadipa atau Pangeran
Anggadipa,”kata RB. Nurul Hidayat, salah satu pemerhati sejarah muda
Sumenep, pada Media Center.
Anggadipa merupakan bangsawan Jepara
yang ditunjuk kerajaan Mataram untuk mengisi kevakuman pemerintahan di
ujung pulau Garam. Kevakuman akibat invasi Sultan Agung ke Madura.
“Dari
ujung barat, penguasa di Madura banyak yang gugur. Di Sumenep ialah
Pangeran Cakranegara, ayah Raden Bugan,” kata Gus Nurul.
Konon,
Pangeran Anggadipa sangat betah di Sumenep. Hal itu terbukti setelah
beliau diberhentikan dengan hormat oleh Mataram, sang pangeran tidak
kembali ke tanah tumpah darahnya di Jepara. Beliau bersama keluarganya
tetap tinggal di Sumenep hingga akhir hayatnya.
Nah, setelah wafat beliau dikebumikan di bukit yang terletak di Desa Kebunagung, yaitu lokasi Asta Tinggi saat ini. Waktu itu pemakaman raja-raja dinasti sebelumnya di Kelurahan Karangduak sekarang. Yaitu kompleks Asta Sabu, bekas keraton Tumenggung Kanduruhan.
“Jadi mungkin saat itu statusnya
sudah sebagai rakyat biasa. Namun, tetap dihormati masyarakat karena
dikenal sebagai adipati yang dekat dengan rakyat,”kata Nurul.
Setelah
pemerintahan kembali ke tangan Raden Bugan alias Tumenggung Yudonegoro
dan keturunannya, banyak penguasa dinasti Bugan yang dimakamkan di
samping Pangeran Anggadipa. Jadilah kemudian kompleks itu sebagai
pemakaman raja-raja Sumenep. Namun, belum diketahui secara pasti sebutan
Asta Tinggi itu sejak kapan.
“Mungkin sejak mulai ditempati sebagai
pemakaman Raja-raja keluarga Yudonegoro. Yaitu sejak Pangeran Sepuh
Wirosari dan Pangeran Pulangjiwo,”jelas Nurul.
Alasan Nurul, di masa Sultan Abdurrahman dari dinasti Saut, dibangunlah kompleks baru di sebelah timur. Kompleks itu dikenal dengan sebutan “Asta Raja”.
“Kompleks yang dibangun Sultan untuk menghormati ayahnya, Panembahan
Sumolo, penguasa Sumenep yang pertama kali dimakamkan
di Asta Raja,”imbuhnya.
Sementara bagian
pagar yang mengelilingi Asta Tinggi dibangun oleh salah satu Demang atau
Walikota di Ambunten, Raden Demang Singoleksono alias Kiai Macan
Ambunten. Salah satu tokoh keraton dari keluarga dinasti Bugan. Tokoh
ini dikenal juga sebagai waliyullah. Pihak keraton Sumenep bahkan selalu
meminta nasihatnya untuk perkara-perkara sulit.
“Konon, susunan batu itu dengan karomah Kiai Macan, disusun tanpa perekat dari campuran tanah atau sesuatu yang bisa membuat kokoh seperti semen sekarang,”kata Nurul.
Susunan batu itu dianggap oleh banyak kalangan semacam juga pagar
yang mengandung kekuatan gaib. Dan memang lokasi atau area Asta Tinggi
sejak dahulu memang dikenal angker dan keramat. Bahkan, riwayat masyhur,
hewan berupa burung saja yang terbang di atas bumi kompleks Asta Tinggi
langsung jatuh.
Sejak masa dinasti Saut, Asta Tinggi diserahkan
perawatannya pada penjaga-penjaga yang dipilih dan ditunjuk keraton.
Mereka lantas diberi tanah cato yang sifatnya hak pakai, dan tak boleh
dijual. Untuk kebijakan di dalamnya tetap diatur oleh kalangan bangsawan
dinasti Saut.
Tahun 1960-an saat Kepala Penjaga Asta Tinggi
dipegang oleh RB. Ibrahim, di sekitar kompleks mulai diberi penghijauan.
Menurut cucu Ibrahim, RB. Ruska, yang ditanam berupa pohon cemara.
“Mungkin
agar lebih teduh. Dan lagi cemara kan tidak mengotori jalan.
Pemangkasannya juga biasanya setiap tahun saja. Apalagi di pelataran
Asta Tinggi biasa digunakan oleh pemerintah daerah untuk kegiatan
seremonial, seperti renungan suci setiap Agustusan, sampai TMP Jokotole
dipugar,” terang Ruska. ( M. Farhan, Esha )