Media Center, Senin ( 07/08 ) Asta atau pasarean Jokotole di kampung Sa'asa, desa Lanjuk, Kecamatan Manding, merupakan salah satu wisata religi tertua di Sumenep. Dari sejak jaman dahulu, pasarean ini begitu dikeramatkan. Nama besar Jokotole yang melegenda merupakan salah satu sebab utama. Apalagi, secara genealogi, Jokotole merupakan leluhur raja-raja Sumenep selanjutnya. Tentu penghormatan pada sosok putra sareyang Pottre Koneng dan Adipoday ini sangat sarat alasan.
Dalam sejarah, Jokotole atau yang bernama lain Ario Kudopanule alias Pangeran Saccadiningrat III adalah salah satu penguasa Sumenep yang berkedudukan di Lapataman, Dungkek. Raja sakti dan arif ini memiliki segudang kisah yang tak habis-habis diceritakan maupun ditulis dalam ruang literasi apapun tentang sejarah tempo doeloe. Salah satu yang melekat dari sosok Jokotole dan menjadi simbol Sumenep hingga detik ini ialah kendaraan tunggangannya yang setia: Kuda Terbang.
Bahkan, jasad Kuda Terbang milik Jokotole juga dimakamkan di dalam kompleks Pasarean sang empunya. Terlepas dari sisi mitos, atau apapun jenis perdebatan, tentang kebenaran ada atau tiadanya hewan berjenis kuda yang bisa terbang ini, tidaklah penting. Karena siapapun yang mendebatnya atau membahasnya di era kini tidak hidup di masa itu. Jadi ya, percuma. Karena tidak ada saksi hidup atau bukti kongkret. Pilihannya mungkin hanya dua: yakin atau tidak yakin.
"Setiap orang punya hak untuk tidak percaya. Seperti halnya orang yang punya hak untuk percaya. Kisah itu dari cerita tutur turun-temurun yang dituangkan dalam bentuk tulisan babad," kata R B Muhlis, salah satu pemerhati sejarah di Sumenep, pada Media Center.
Menurut Muhlis, sekarang bukan lagi perlu membahas mitologi dalam sejarah. Karena setiap orang memiliki cara pandang sendiri. Apalagi di jaman kini, menurutnya sudah banyak kritikus dalam setiap bidang. Namun khusus sejarah, dipandangnya susah untuk mencapai garis final. Sehingga yang terpenting saat ini ialah menjaga peninggalan sejarah.
"Makam Jokotole ini salah satu destinasi wisata religi. Meski sudah hilang situsnya, namun tetap harus dirawat. Karena ini bagian penting dalam sejarah Sumenep. Sebagai bentuk terima kasih juga pada pendahulu dan tokoh yang berperan dalam membangun Sumenep di masa lampau, " katanya.
Dalam pantauan Media Center, pasarean salah satu menantu Raja Majapahit ini memang sudah lama tidak mendapat sentuhan perawatan. Bagian pagar dan dinding bangunan di area makam tidak terurus.
Menurut H. Yasin, penjaga atau juru kunci Asta Jokotole, dulu memang pernah ada renovasi atau perbaikan di masa Bupati Ramdlan Siraj. Bahkan setiap tiga bulan sekali disebutnya pihak Disparbud (sekarang Disbudparpora) selalu berkunjung dan memantaunya.
"Tapi semenjak beliau (Ramdlan; red) tidak lagi menjabat, pihak pemkab tidak mengurusnya lagi. Kami berharap ke depan ada perhatian lagi, " kata Yasin.
Dalam penelusuran media Center, renovasi Asta Jokotole tak hanya di masa Bupati Ramdlan Siraj. Renovasi pertama justru sebelum era Ramdlan. Inisiatornya kala itu ialah H. Kurniadi Widjaja, mantan Kepala Dinas Sosial Kabupaten Sumenep. Renovasi dilakukan tahun 1996 di masa Bupati Sukarno Marsaid.
"Kontraktornya dulu Pak Maknun. Anggaran yang ada sekitar Rp 20 juta. Bantuan dari Gubernur Jatim waktu itu, " ungkap Kurniadi, pada Media Center, Ahad, kemarin.
Awalnya, menurut Kurniadi, renovasi ditentang masyarakat dan tokoh sekitar Asta Jokotole. Mereka merasa keberatan, terutama jika atap ilalang yang menaungi makam diganti genting. "Tapi setelah saya jelaskan dengan baik, akhirnya mereka tidak menentang lagi, " imbuh Mudir Jatman ini.
Renovasi waktu itu tidak sampai menyentuh kuburan Kuda Terbang. Hal itu, kata Kurniadi, disebabkan dana yang ada tidak mencukupi. "Tapi allhamdulilah setelah itu ada yang melanjutkan, " tambahnya.
Terkait kondisi Asta Jokotole saat ini, Kurniadi mengaku sudah lama tidak ziaroh ke sana. Ketika diberi kabar kondisinya yang sudah tak terawat, Kurniadi agak terkejut. "Astaghfirullah. Sudah puluhan tahun saya tidak ke sana. Mudah-mudahan nanti ada yang peduli, " tutupnya.
( M. Farhan M, Esha )