News Room, Rabu ( 19/10 ) Panembahan Sumolo memiliki nama kecil Asiruddin (ada yang menyebut Nashiruddin). Beliau lahir di Desa Lembung, Kecamatan Lenteng. Beliau merupakan putra kedua Bindara Saut dengan isteri pertamanya, Nyai Izzah. Bindara Saut merupakan putra Kiai Abdullah atau Bindara Bungso, di Desa Batuampar, Kecamatan Guluk-guluk. Antara Bindara Saut dan isterinya masih ada hubungan saudara sepupu. Ibu dari Bindara Saut, Nyai Nairima; dengan ibu dari Nyai Izza, Nyai Galu, masih bersaudara kandung. Keduanya sama-sama putra Kiai Khathib Bangil di Dusun Parongpong, Desa Kecer, Kecamatan Dasuk.
Saat ayahnya “dipinang” oleh Ratu Rasmana, Ratu Sumenep, pada 1750 Masehi; Asiruddin dan kakaknya, Baha’uddin menetap di Desa Lembung bersama ibunya. Baru beberapa tahun setelahnya, kedua pemuda itu dipanggil menghadap ke Keraton Sumenep.
Saat sampai di keraton, keduanya menghadap sang ayah dan ibu tiri. Putra termuda menyembah pada Ratu Rasmana, sedang si Sulung menyembah pada Bindara Saut. Saat itulah, dengan dicatat oleh sekretaris keraton, Ratu Rasmana sembari memegang kepada si Bungsu, bersabda sekaligus berwasiat bahwa Asiruddin kelak akan menjadi pengganti ayahnya (Bindara Saut) sebagai raja Sumenep.
Panembahan Sumolo dikenal sebagai sosok yang alim, khususnya di bidang agama. Latar belakangnya yang berasal dari trah kiai dan ulama besar di Sumenep membentuk karakter kepribadian seorang pemimpin atau negarawan yang memegang teguh pada agama. Suasana pemerintahan Sumenep mengalami pergeseran budaya. Dari aristokrat sejati ke kaum santri.
Sebutan Panembahan Sumolo atau yang menurut lidah Sumenep Panembahan Somala memiliki makna khusus. Yaitu bahwa beliau adalah penguasa Sumenep yang mula-mula bergelar Panembahan. Sebelumnya, penguasa Sumenep bergelar Pangeran atau Tumenggung saja.
Di masa pemerintahan beliaulah dilakukan pemisahan wilayah tapal kuda yang meliputi Panarukan dan sekitarnya, dan diganti dengan memasukkan gugusan kepulauan di sekitar Sumenep ke Keraton di ujung timur pulau garam ini.
Panembahan Sumolo juga memiliki perhatian terhadap aset Keraton, dan berupaya agar tidak ada campur tangan pihak luar, khususnya Belanda. Sehingga sejak beliaulah dikeluarkan keputusan berupa wasiat bahwa Keraton dan bangunan-bangunan lainnya, serta sebagian tanah di sekitar kota dinyatakan menjadi waqaf untuk kepentingan fakir miskin. Begitu juga masjid jamik yang dinyatakan dalam sebuah wasiat khusus.
Dalam bunyi wasiat beliau, masjid yang didirikan tepat di sebelah barat alun-alun itu disebut dengan nama masjid Pangeran Natakusuma. Masjid tersebut didirikan pada tahun Ba’, yaitu tahun 1200 Hijriah, di atas tanah waqaf sang Nata.
Dalam poin kedua wasiat tersebut, masjid selesai dibangun pada bulan Ramadlan tahun Za’, 1206 Hijriah. Namun sekitar enam tahun setelahnya, Panembahan Sumolo dicatat kembali memperbaiki atau menyempurnakan bangunan masjid, yakni tepatnya pada tahun 1724 tahun Jawa atau 1212 Hijriah.
Pembangunan masjid menjadi satu paket dengan pembangunan keraton di Pajagalan. Pembangunan ini juga menjadi awal sejarah pembentukan nadir waqaf Panembahan Sumolo hingga detik ini. Nadir waqaf yang pertama ialah Sultan Abdurrahman Pakunataningrat, putra sekaligus pengganti Panembahan Sumolo setelah wafatnya pada tanggal 2 Rabiul Awwal 1230 Hijriah. ( M. Farhan, Fer )