Media Center, Rabu ( 01/03 ) Meski di luar kental dengan stigma kekerasan melalui “carok”-nya, orang Madura tak perlu berkecil hati apalagi sakit hati. Pasalnya, stigma itu disematkan oleh orang yang tak paham Madura; yang notabene memang bukan orang pulau garam. Bagi yang paham Madura, justru sebaliknya. Nilai etos dan religiusitas orang-orang Madura sangatlah tinggi.
“Tindak kekerasan yang melibatkan orang Madura tidak ubahnya peristiwa kekerasan yang melibatkan warga daerah tertentu, suku tertentu, ras tertentu, dan belahan bumi tertentu,” kata salah satu pemerhati budaya Madura di Sumenep, H. Nurul Hamzah.
Nurul menyebut hal itu sifatnya kasuistik, personal, dan cenderung mengedepankan sesuatu yang sifatnya alamiah. Seperti perkara baik dan buruk, baik dan jahat, salah dan benar. “Ya, itu kan sifat umum yang melekat pada manusia. Tak hanya warga Madura,” imbuhnya.
Menurut Nurul, penilaian sepihak itu mesti diimbangi dengan informasi yang kongkret tentang Madura dan orang-orangnya. "Seperti celurit misalnya, itu simbol kejantanan lelaki Madura. Bukan simbol kekerasan orang-orang Madura. Filosofinya sebagai pengganti tulang rusuk sebelah kiri yang hilang bagi laki-laki. Makanya bentuknya itu bengkok seperti tulang rusuk. Dan diselipkan di pinggang bagian kiri," jelasnya.
Sementara menurut Syaf Anton WR, sikap orang Madura yang dikenal religius, toleran dan taat; terungkap dalam saloka “abhântal syahadat asapok iman” (berbantal syahadat berselimut iman). Mereka diwajibkan menjaga tatakrama dan budi pekerti yang baik. "Sebaliknya bila tidak menjalankan disebut edhina pangèranna," kata Budayawan Madura di Sumenep ini.
Begitu pula dalam hal ketaatan, Anton mengutip pesan para tokoh kuna: "orèng sè andik tatakrama rèya akantha pèssè singgapur, ekabâlânjhâ â è dimma bhâi paju”. Arti bebasnya orang yang punya tatakrama itu seperti uang Singapura (dollar), dibelanjakan di manapun masih laku.
"Ya, maksudnya, orang yang berbudi pekerti yang baik, di manapun ia berada akan diterima dengan suka cita, sebab dalam pepatah lain odik è dhunnya rèya akantha nètè obuk (hidup di dunia ini seperti meniti rambut), yaitu sedikit saja salah melangkah akan tergelincir dalam kenistaan," tambahnya.
Oleh karena itu, karakteristik yang dipandang tangguh dan teguh ini disebut Anton menguatkan indentitas kesukuan masyarakat Madura, dan cenderung membuat mereka berusaha keras untuk mewujudkan impiannya. "Meski harus melewati pasang surut dan hantaman ombak untuk mencapai tujuan," tutupnya. ( Farhan/Esha/Fer )