Sms Pengaduan :
news_img
  • ADMIN
  • 11-09-2020
  • 1124 Kali

Mengintip Kehidupan Para Pangeran Di Balik Megahnya Bangunan Loteng

Media Center, Jumat ( 11/09 ) Sekilas, bangunan loteng para pangeran Sumenep abad 19 yang sempat diulas di beberapa edisi sebelumnya (Loteng, Potret Miniatur Keraton dalam Keraton di Sumenep 1-5), seakan menyampaikan pesan bahwa para putra raja di Madura Timur kala itu hidup dalam kemewahan yang dibalut kemegahan.

Namun dalam riwayat keluarga Keraton Sumenep, hal itu berbanding terbalik. Kemegahan bangunan loteng sejatinya membalut kesederhanaan dan kesehajaan.

“Semua loteng di Sumenep menyampaikan pesan bahwa anak-anak Sultan hidup biasa saja, tidak bermewah-mewah. Tidak sebanding dengan bobot kekuasaan Sumenep yang sebelumnya sampai ke Panarukan dan lain-lain,” kata RP Zainal Abidin Amir, salah satu anggota keturunan bangsawan Sumenep pada Media Center.

Menurut Zainal, bangunan loteng para pangeran Sumenep ini memang lebih sederhana dibandingkan rumah anak-anak raja lainnya. “Seperti di Jawa, Cirebon, apalagi Sumatera,” imbuhnya, Jumat (11/09/2020).

“Jangan dibandingkan dengan rumah rakyat. Pasti loteng tampak mentereng. Kalau dibandingkan dengan kelas sosial yang sama, loteng anak raja Sumenep tergolong sederhana, baik dari sisi model atau arsitektur bangunan dan luas tanahnya. Tidak ada loteng yang berdiri di atas tanah 5000 meter,” tambahnya lagi.

Jika dilihat lebih cermat memang bangunan loteng di Sumenep tidak begitu luas. Umumnya tak lebih dari dua kamar di lantai bawah. Sementara di lantai atas memiliki fungsi tersendiri.

“Seperti Loteng Pangeran Kornel di Pasarsore, Karangduak, memang awalnya difungsikan juga sebagai markas militer. Lantai atas untuk memantau pergerakan musuh,” kata RB Ja’far Shadiq, dari Komunitas Ngoser (Ngopi Sejarah).

Konon, bagian loteng juga digunakan pangeran untuk berkhalwat. Keluarga Keraton Sumenep dinasti terakhir (1750-1929) memang dikenal kental dengan laku tirakat dan tarekat (thariqoh). Tidak dijelaskan tarekat khusus yang diamalkan keluarga keraton. Namun dalam sebuah keterangan, Sultan Sumenep sendiri mendapatkan ijazah talqin empat thariqoh mu’tabaroh sekaligus.

Kembali pada kehidupan para pangeran, menurut para sesepuh keraton, mereka sejak kecil dibiasakan hidup sederhana dan didikan yang keras.

“Sultan dikenal tidak menyelimuti para putranya dengan kemewahan. Bahkan jika diibaratkan, apa yang dibuat sebagai nafakah keluarga beliau dari hasil berjualan bhiteng atau lidi kecil,” kata RB Ahmad Rifa’i, juga anggota keluarga bangsawan Sumenep.

Istilah hasil jualan “bhiteng” ini jika ditafsirkan, semua yang masuk dalam nafkah itu adalah harta yang benar-benar halal dan tentu saja dalam jumlah yang tak banyak.

“Jualan bhiteng ini hanya istilah saja. Karena tak mungkin seorang raja berdagang. Artinya beliau sangat berhati-hati dalam urusan nafakah dan konsumsi untuk keluarga besarnya,” jelas Rifa’i.

Begitu sederhananya keluarga Sultan Sumenep ini, bahkan ada salah satu anaknya yang dikenal tidak memiliki rumah, namun sering dibantu oleh saudara-saudaranya.

Dalam hal didikan, Sultan Sumenep, Abdurrahman Pakunataningrat (memerintah 1811-1854) juga dikenal menerapkan disiplin tinggi.

Sultan yang dikenal cendekia ini memang diriwayatkan senang menulis naskah kitab di malam hari, selepas melaksanakan kewajibannya sebagai pemimpin negara. Beberapa tulisannya, seperti tafsir al-Quran saat ini ada di museum Belanda. Beliau juga dikenal sebagai salah satu kontributor TS Rafflesh dalam penulisan buku History of Java.

“Karena malam maka digunakanlah lentera. Uniknya, lentera penerang itu tidak digantung ke dinding atau tiang, tapi dipegang oleh seorang pangeran atau salah satu putranya. Giliran setiap malam. Mulai tengah malam sampai fajar. Jadi para pangeran itu giliran setiap malam tak tidur,” kata RB Fahrurrazi salah satu anggota bangsawan Sumenep lainnya.

Sultan Sumenep diketahui memiliki 33 anak. Terdiri dari 18 anak laki-laki dan 15 anak perempuan. Beberapa dari anak laki-laki beliau berpangkat pangeran. Dan ada empat pangeran yang dikenal dengan peninggalan bangunan lotengnya. Seperti Pangeran Kolonel (Kornel) Kusuma Sena Ningalaga, Pangeran Le’nan (Letnan Kolonel) Kusuma Sinerangingrana, Pangeran Suryoamijoyo (Ami), dan Pangeran Suryoadiputro (Adi). ( Han, Fer )