News Room, Kamis ( 20/10 ) Sultan Pakunataningrat lahir di Sumenep pada tahun 1194 Hijriah. Beliau adalah putra Panembahan Sumolo atau Notokusumo ke-I dengan Raden Ajeng Maimunah dari Semarang. Raden Ajeng Maimunah adalah putri Raden Marmowijoyo alias Kangjeng Pangeran Adipati Ario Suroadimenggolo III, penguasa Semarang.
Panembahan Sumolo tercatat memiliki delapan putra-putri dari tiga orang isteri. Putra pertamanya ialah Pangeran Panggung (Raden Ario Kusumodiningrat), yang lahir dari isteri Putri Adipati Sedayu. Putra tertua ini awalnya dipersiapkan mengganti ayahnya. Namun karena beberapa hal, Pangeran Panggung kurang disukai warga Sumenep. Sehingga dengan campur tangan pihak kolonial beliau diangkat menjadi Bupati di Pasuruan, setelah sebelumnya sempat menjabat sebentar sebagai Adipati Sumenep sepeninggal Panembahan Sumolo.
Sultan Pakunataningrat lahir dengan nama Raden Bagus Abdurrahman. Setelah itu beliau diubah namanya menjadi Raden Ario Tirtodiningrat. Nama tersebut berganti lagi setelah dewasa menjadi Pangeran Ario Notonegoro.
Sepeninggal ayahnya, pada tahun 1230 Hijriah, bertepatan dengan 1811 Masehi, Pangeran Ario Notonegoro diangkat sebagai Adipati Sumenep dengan gelar Panembahan Notokusumo ke-II. Gelar tersebut kemudian diganti dengan Sultan Pakunataningrat setelah selesai peristiwa Perang Jawa (1830 Masehi).
Kepribadian Sultan Pakunataningrat dilukiskan sebagai sosok yang arif, dan berakhlaq mulia. Sehingga beliau tak hanya disegani rakyatnya, namun juga warga asing, baik Belanda dan Inggris yang sempat menjajah Nusantara.
Dalam sebuah manuskrip yang disimpan R. Idris di kampung Pangeran Letnan Kolonel Hamzah, Kepanjin, Sultan Pakunataningrat dikenal juga sebagai pribadi yang alim dan luas ilmunya. Beliau sejak masih kecil atau mumayyiz sudah mampu menguasai kitab suci Al-Quran. Sebelum beranjak dewasa, beliau sudah disebut sering terlibat dalam majelis ulama. Saat itu beliau sudah menyerap dengan baik ilmu syari’ah, ‘aqaid, bahasa arab dan gramatikanya. Begitu juga ilmu bayan, mantiq, ‘urudl, tafsir dan hadits.
Sejak remaja beliau juga dikenal zuhud. Beliau juga suka melakukan riyadlah dengan beruzlah sambil bertapa. Dalam tashauf, Sultan mendapat ijazah dan talqin empat thariqah sekaligus; Naqsyabandiyah, Khalwatiyyah, Sathariyah, dan Sammaniyyah.
Sultan wafat pada tanggal 3 Rajab 1270 Hijriah, bertepatan dengan tahun 1855 Masehi. Jenazahnya dimakamkan di sisi pasarean ayahnya di Asta Tinggi Sumenep.
Tak hanya di bidang agama, Sultan Pakunataningrat memang dikenal sebagai seorang yang pakar di bidang bahasa, sastra, budaya, sejarah. Darah dari pihak ibunya, yaitu putri Adipati Semarang, trah Suroadimenggolo, dikenal sebagai keluarga bangsawan yang memiliki perhatian besar terhadap pengetahuan.
Keluarga ini juga dikenal sebagai kalangan cendekia. Bahkan saudara sepupu Sultan, Kangjeng Kiai Adipati Suroadimenggolo ke-V, yang sekaligus juga mertua Sultan, dipuji oleh Raffles sebagai seorang yang banyak menguasai budaya dan peradaban tanah Jawa.
Dalam buku karya Raffles yang monumental, History of Java, Sultan Sumenep (Pakunataningrat) dan Adipati Semarang (Suroadimenggolo ke-V) ini menjadi kontributor sekaligus narasumber.
Ceritanya pada suatu ketika, Raffles menemukan sebuah lempengan manuskrip berbahasa Sansekerta. Karena bersahabat dengan Sultan Sumenep, dan tahu akan keahliannya di bidang bahasa, dimintalah bantuan pada Sultan untuk menerjemahkan tulisan tersebut. Sultan menyanggupinya dan mengirimkan hasil translit manuskrip. Hasil tersebut ternyata cocok dengan hasil terjemah orang Hindustan yang datang berapa lama kemudian.
“Konon, dari cerita leluhur, Sultan Abdurrahman ini menguasai sekitar 40 bahasa. Ini juga mungkin merupakan salah satu karomah yang dimiliki beliau,” kata R.P. Zainal Abidin Amir, salah satu anggota keluarga keturunan bangsawan Keraton Sumenep.
Atas jasanya, Sultan mendapat gelar Doktor Honoris Causa di bidang Kebudayaan dari Kerajaan Inggris. Letterkundige namanya. Bersama dengan gelar tersebut dihaturkan juga sebuah kereta Kencana.
Kereta tersebut selanjutnya menjadi salah satu koleksi museum Keraton Sumenep yang memiliki daya tarik tersendiri. Kereta Melor, begitu orang Sumenep sejak dulu kala menyebutnya. Meski kata Melor menjadi kehilangan maknanya, sebab nama asli kereta tersebut ialah My Lord, kata asing dari Negeri British, yang artinya Tuanku atau Tuan saya.
Dalam beberapa cerita tutur, kereta Melor ini jarang digunakan atau mungkin tak pernah digunakan Sultan. Sultan dikenal sebagai pribadi yang suka menjalankan laku tirakat dan hidup bersahaja. Bahkan tak jarang beliau menyepi dan bepergian tanpa ditandu.
“Sultan dikenal sebagai pribadi yang menjauhkan diri dari keduniawian. Bahkan pernah dalam sebuah pertemuan para adipati di Jawa beliau menempatkan emas sebagai terompahnya, saat semua adipati yang lain menempatkan emas di atas kepalanya. Kata sultan, dunia itu hina, jadi harus di bawah telapak kaki, bukan di atas kepala,” kata R. Idris, salah satu keturunannya. ( M. Farhan, Fer )