Sms Pengaduan :
news_img
  • ADMIN
  • 13-11-2016
  • 1657 Kali

Wilayah Sumenep Dalam Genggaman Tiga Fase

News Room, Senin ( 14/11 ) Wilayah kekuasaan Sumenep, berdasar oretan tinta sejarah, begitu dinamis. Karena penetapan hari lahir Kota berlambang kuda terbang ini di masa awal duduknya Aria Wiraraja, maka setidaknya ada tiga fase yang menunjukkan luas kekuasaan Adipati Sumenep.

Fase pertama ialah masa pemerintahan Aria Wiraraja (1269 – 1293 Masehi). Di masa ini, pemerintahan di Madura terpusat di Sumenep. Sehingga tak salah jika dikatakan bahwa Sumenep sejak awal memang merupakan kiblat pemerintahan sekaligus budaya di Madura. Bahkan dalam sebuah prasasti kuna di pintu Agung Keraton Sumenep yang ditulis dalam bahasa Arab dan Madura kuna, yaitu Brahmono Hasmoro Hung Putri Hayu—yang berarti Brahmono = 6; Hasmoro = 8; Hung = 9; Putri = 1; dan Ayu = 1. Maknanya, susunan struktur pemerintahan di Sumenep sudah ada sejak 1 Januari 986 Masehi. Masa itu tentu lebih awal lagi dari masa Wiraraja.

“Tahun 1293 merupakan rangkaian dari fase pertama, di mana saat itu Aria Wiraraja pindah ke Lumajang (Blambangan) atas keberhasilannya membantu Dyah Sangghrama Wijaya—menantu Kertanegara—dalam mengkonstruksi kembali kekuasaan Singhasari. Lumajang sekaligus Sumenep (Madura) tetap di bawah Wiraraja, hanya di Sumenep ditunjuk sang adik, Aria Bangah untuk menjalankan roda pemerintahan di Sumenep,” kata salah satu pemerhati sejarah di Kabupaten Sumenep RPM Mangkuadiningrat, pada Media Center.

Kekuasaan Wiraraja disebut Mangkuadiningrat, di Lumajang sangat luas, meliputi daerah tapal kuda di Provinsi Jawa Timur. Di sinilah kemudian alasan utama mengapa kemudian kebudayaan Madura tampak meliputi daerah tapal kuda, yakni sebab berkuasanya Aria Wiraraja.

Dalam masa selanjutnya, yaitu di masa-masa keruntuhan Majapahit dan desakan fisik para pemberontak membuat gerakan Islamisasi di Jawa dan Madura menjadi agak mudah. Islam yang tak mengenal konsep kasta dan tidak menghantam langsung budaya asal setempat mampu menarik simpati masyarakat. Gerakan itu tentu tak lepas dari perjuangan Wali Sanga yang rata-rata merupakan pendatang dan berasal dari golongan saadah (kata jamak dari sayyid atau keturunan Rasulullah SAW) Bani Alawi, Hadhramawt, Yaman.

Di masa itu kemudian Madura terbagi dalam beberapa daerah Mardikan dengan beberapa penguasa kecil. Di barat Sumenep, muncul penguasa yang daerahnya dikenal dengan Pamelingan—sebelum kemudian menjadi Pamekasan. Di bagian tengah, yakni  di Sampang, ada penguasa yang dikenal dengan kamituwo. Sementara di bagian paling barat penguasanya berkedudukan di Arosbaya. Istilah Bangkalan belum dikenal, Madura Barat merujuk pada Sampang. Seluruh penguasa itu dari sumber catatan kuna, berasal dari susur-galur sama: trah Majapahit.

“Sementara wilayah Sumenep masih tetap hingga kawasan tapal kuda. Bahkan di masa Dinasti Kanduruhan yang berasimilasi dengan trah penguasa Pamekasan—turunan Panembahan Ronggosukowati (memerintah sejak 1530 – 1616 Masehi), wilayah kekuasaan Sumenep bertambah. Kejadian ini di masa yang disebut sebagai fase kedua,” jelas Mangku.

Di masa ini, yang terjadi jaman pemerintahan Pangeran Jimat (Raden Ahmad) yang bergelar Pangeran Adipati Ario Cakranegara ke-III (memerintah tahun 1731 – 1744 Masehi), wilayah Pamekasan bahkan menjadi bagian dari kekuasaan Sumenep. Ceritanya, ayah Pangeran Jimat, yaitu Pangeran Rama (adipati Sumenep tahun 1678 – 1709 Masehi) juga sekaligus putra mahkota Pamekasan. Karena ayah Pangeran Rama, yaitu Pangeran Gatutkaca adalah cucu Panembahan Ronggosukowati. Meski kemudian, di Pamekasan juga tetap dikendalikan oleh saudara dari Pangeran Rama. Namun hal itu hanya simbolis saja. Pamekasan diberi hak mengendalikan pemerintahan sendiri, namun tetap berkiblat pada Sumenep.

Setelah terjadi perubahan angin kekuasaan, dengan masuknya kalangan santri di singgasana Sumenep, perubahan yang selanjutnya disebut fase ketiga terjadi. Fase yang terjadi di masa Panembahan Sumolo, putra Bindara Saut ini, wilayah tapal kuda ditukar dengan gugusan pulau yang hingga saat menjadi wilayah Kabupaten Sumenep. “Kala itu khusus kepulauan juga ditunjuk bupati bawahan. Semisal di Kangayan (Kangean), bupati pertamanya ialah Raden Tumenggung Ario Suriyingrono (Suringrono), putra Tumenggung Kornel, salah satu putra Panembahan Sumolo,” imbuh Mangku.

Kendati ditukar, kendali atas daerah tapal kuda juga tetap dimainkan oleh anak cucu Panembahan Sumolo. Babak pertama suksesi oleh keluarga Sumenep ini dimulai dengan peristiwa penobatan Raden Bambang Sutiknya alias Pangeran Adipati Ario Prawiroadiningrat ke-I (yang juga putra Tumenggung Kornel, sekaligus juga cucu saudagar Cina muslim di Besuki—Han Soe Ki—dari pihak ibunya) sebagai adipati pertama Besuki. Babak kedua dari kisah suksesi ini berlanjut dengan dilantiknya salah satu putra Pangeran Sutiknya yang bernama Kangjeng Raden Tumenggung Ario Pandu Suryoatmojo (Kangjeng Pandu) sebagai bupati pertama Panarukan (setelah itu pemerintahannya pindah ke Situbondo). Tanpa harus ditebak, babak-babak lainnya tentu saja terus bersusulan dari trah ini.

Keputusan Panembahan Sumolo melepas daerah tapal kuda, berimplikasi luas. Dengan mendapat gugusan pulau, pengaruh Sumenep terus menancap dengan kuat di daerah tapal kuda, karena para penguasanya masih dari trah dinasti ini. Implikasi yang terus terasa hingga detik ini, di mana budaya dan bahasa Madura terus melekat di kawasan itu. Bahkan, di daerah tapal kuda, bahasa Madura menjadi lingua franca. “Kondisi yang menempatkan bahasa Madura sebagai bahasa ketiga terbesar setelah bahasa Jawa dan Sunda, dengan tak kurang dari 10 kabupaten yang warganya menjadi penutur bahasa pulau garam ini,” tutup Mangku. ( M. Farhan, Fer )