Sms Pengaduan :
news_img
  • ADMIN
  • 06-11-2016
  • 567 Kali

Bangun Pendidikan Karakter Melalui Sastra Dan Kearifan Lokal

News Room, Senin ( 07/11 ) Karya sastra yang berisikan pemikiran, ide-ide kreatif, kisahan dan amanat penuturnya, menurut salah satu sastrawan Sumenep, Syaf Anton WR dapat berinteraksi dengan masyarakat, apabila masyarakat mampu mengapreasikannya. Namun untuk dapat mengapresiasikan karya sastra, seseorang tentunya harus menggauli sastra itu sendiri. Kecintaan terhadap karya sastra, akan mendorong seseorang untuk melahirkan berbagai pemikiran untuk mengapresiasikannya.

“Namun, karena seni sastra adalah seni bahasa, maka untuk mengerti seni sastra, orang harus mengerti bahasa dan kemungkinan-kemungkinan tentang pernyataannya. Dengan mengapresiasi karya sastra peminat akan mendapatkan amanat atau pesan moral yang terdapat dalam teks bacaan sastra itu sendiri,” nasehatnya, dalam sebuah kesempatan bersama News Room.

Untuk itu Anton juga mengajak belajar pada kearifan lokal. Seperti ungkapan-ungkapan lama yang mungkin juga telah terlupakan. Seperti ungkapan kearifan daerah “andhap asor” yang punya makna rendah hati, bukan rendah diri. Ungkapan ini bisa menjadi tolok ukur dalam menanamkan etika dan estetika, termasuk di dalamnya tentang kesantunan, kesopanan, penghormatan, dan nilai-nilai luhur lainnya. Dalam kearifan Madura “andhap asor” berimplementasi “raddhin atena, baghus tengka ghulina” (cantik hatinya, baik tingkah lakunya).

“Demikian pula dalam pergaulan, salah satu kunci untuk menciptakan nilai-nilai kebersamaan seperti dicontohkan dalam saloka; “bila cempa palotan, bila kanca taretan,” (kalau beras cempa adalah ketan, kalau teman adalah saudara), demikian pula untuk menjaga keutuhan persabatan perlu dijaga “mon bakna etobik sakek jhak nobik an oreng” (apabila kamu dicubit sakit, jangan mencubit orang),” katanya.

Tentang keseimbangan hidup, Anton memberi misal, bahwa kebenaran hidup harus dimulai dari diri sendiri. “Jagaa pagharra dhibik jhak parlo ajhaga pagharra oreng”, (jaga pagar sendiri, tidak perlu menjaga pagar orang lain) karena itu hidup harus hati-hati agar tidak menyakiti orang lain, sebab “jhila reya tak atolang” (lidah ini tak bertulang).

“Kalau kita kaji sebenarnya kehidupan ini seperti “odik e dhunnya akantha nete obuk”(hidup di dunia ini seperti meniti rambut), sedikit saja salah melangkah kita tergelincir dalam kenistaan,” imbuhnya.

Demikian pula tentang tatakrama atau budi pekerti Anton mengutip “oreng andhik tatakrama reya akantha pesse singgapur, ekabelenjha a e dhimma bhai paju,” (orang yang mempunyai tatakrama seperti uang Singapura/dollar, dibelanjakan dimanapun akan laku). Ungkapan yang disebutnya sangat relevan diterapkan pada kondisi jaman sekarang ini, dengan makin menguatnya budaya luar yang menyusup ke tengah-tengah kita melalui perangkat “budaya dollar” tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi kita; yaitu bagaimana bisa bertahan dan mampu menanamkan budi pekerti yang kini jelas-jelas telah tercerabut dari akarnya.

Namun persoalannya, adalah bagaimana mengimplementasikan kearifan lokal tersebut pada generasi sekarang. Anton mengusulkan perlunya merevitalisasi budaya lokal (kearifan lokal) yang relevan untuk membangun pendidikan karakter. Sehingga diharapkan mampu mengantarkan generasi muda untuk mencintai daerah, dan mengenal sastra daerahnya sendiri.

“Kecintaan pada daerah akan mewujudkan ketahanan daerah. Ketahanan daerah adalah kemampuan suatu daerah yang ditunjukkan oleh kemampuan warganya untuk menata diri sesuai dengan konsep yang diyakini kebenarannya dengan jiwa yang tangguh, semangat yang tinggi, serta dengan cara memanfaatkan alam secara bijaksana,” tutupnya.  ( M. Farhan, Fer )