Media Center, Rabu ( 06/07 ) Dunia internasional maupun nasional saat ini sedang berfokus untuk memproklamirkan terwujudnya Sustainable Development Goals (SDGs) 2030.
SDGs merupakan daftar yang berisi poin-poin target pencapaian seluruh negara yang tergabung dalam PBB, tenggat pencapaiannya sebelum 2030. Terdapat 17 poin target pencapaian dalam SDGs 2030.
Anak muda menjadi aktor sosial yang sangat giat untuk mendukung kesuksesan terlaksananya capaian SDGs 2030. Hal ini juga didorong oleh target fokus SDGs 2030 yakni kehidupan yang lebih sejahtera dan berkelanjutan, sehingga sangat berhubungan langsung dengan keberadaan anak muda.
Adapun, nilai yang dibawakan dalam SDGs 2030 yakni berunsur 4P (people, planet, prosperity, dan partnership). Unsur-unsur tersebut dipercaya sebagai komponen yang dapat mewujudkan capaian SDGs 2030.
Dua mahasiswi berprestasi asal Kabupaten Sumenep memiliki inisiasi mendirikan Rumah Bestari, yakni organisasi sosial yang berfokus kepada pendidikan inklusi.
Mereka adalah Andini Rizka Marietha, Mahasiswi Berprestasi Telkom University Jurusan Kelas Internasional Ilmu Komunikasi Telkom University Bandung, juga berstatus Mitra Muda UNICEF Indonesia serta pernah menjadi kontributor di White Paper Y20; Diversity and Inclusion 2022.
Zakiyatul Wachdaniah Taulina merupakan Mahasiswi Jurusan Psikologi UIN Maulana Malik Ibrahim serta Peer Counselor di Women March Malang, LSO Oasis, dan Laboratorium Konseling UIN Malang.
Keduanya merumuskan Rumah Bestari sejak Juli 2021 dengan langkah pertama mengajak 18 anak muda daerah sebagai Tim Pelopor, yakni tim yang bersama-sama menyusun kerangka organisasi Rumah Bestari seperti struktural organisasi, proposal, dan profil Rumah Bestari.
Setelah sukses menyusun profil dasar Rumah Bestari, Andin dan Taulina, panggilan dua gadis berkerudung ini bersama Tim Pelopor membuka seleksi Tim Bestari untuk bergabung dalam struktural Rumah Bestari.
Proses seleksi meliputi administrasi dan wawancara. Hingga saat ini Rumah Bestari sudah beranggotakan 22 anak muda asal Kabupaten Sumenep dari jenjang pendidikan SMP, SMA/SMK, hingga perguruan tinggi dalam keorganisasiannya.
"Sebelum menyebarkan semangat inklusivitas kepada masyarakat, Rumah Bestari harus lebih dulu inklusif secara internal. Oleh karena itu, kami tidak membatasi jenjang pendidikan dari SMP hingga perguruan tinggi, agar seluruh anak muda dapat berkolaborasi tanpa terbatas jenjang pendidikan, saya yakin kedewasaan bukan ada pada usia, tetapi pada pola pikir seseorang," ujar Andin, yang juga Founder Rumah Bestari, Rabu (06/07/2022).
Menurutnya, Rumah Bestari memiliki tiga program kerja inti, yakni Taman Bermain Bestari (TBB) dan Educare. TBB merupakan bentuk aksi sosial Tim Bestari untuk menyediakan taman bermain dan belajar (pendidikan inklusi luar sekolah) kepada anak-anak usia dini meliputi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) dan non-ABK.
Sehingga, anak-anak sadar terhadap inklusi secara praktis sejak dini. Tim Bestari menyadari khususnya ABK usia dini memiliki keterbatasan bersosialisasi atau mendapatkan lingkungan bermain yang inklusif.
”Karenanya Tim Bestari mengupayakan pelaksanaan TBB yang ingin menggalakkan semangat praktis berkomunikasi tanpa tapi, dimana Non-ABK diajak untuk belajar dan lebih memahami ABK. Sehingga, inklusi jadi aksi yang juga berhubungan dengan tagline Rumah Bestari selanjutnya, Inklusi Aksi,” terangnya.
Andin menambahkan, TBB ini sebenarnya juga merupakan bentuk kritik Rumah Bestari terhadap penerapan pendidikan inklusi di Indonesia, yang saat ini dinilai masih bias tujuan dan target pengembangannya.
"Keberadaan ABK seolah-olah dipaksa untuk lebih memahami non-ABK di sekolah inklusi, karena tidak pernah digalakkan solusi atau pendekatan persuasif terhadap non-ABK agar mengenal ABK, sehingga berpotensial tindakan-tindakan diskriminatif dan semakin meminorisasi para ABK," tambahnya.
Selanjutnya, educare merupakan aksi advokasi Rumah Bestari untuk mengedukasi masyarakat atau lingkungan sosial mengenai pendidikan inklusi, agar mereduksi stigma ableism (persepsi diskriminatif terhadap kemampuan ABK yang dapat menghambat produktivitas mereka), dan mengajak masyarakat untuk "lebih kenal anak berkebutuhan khusus" dengan memahami jenis-jenis disabilitas dan cara berinteraksi dengan para ABK.
Dalam rangka mewujudkan pelaksanaan kedua program sosial tersebut, Rumah Bestari beberapa hari lalu mengadakan "Kolokium Pendidikan Inklusi: Kolaborasi Analitis Upaya Adaptasi Inklusivitas di Bidang Pendidikan".
Kegiatan itu lanjut Andin, untuk memberi ruang dialektika kritis antara akademisi, praktisi, dan aktivis pendidikan inklusi di Kabupaten Sumenep dengan output modul pendidikan inklusi. Modul tersebut menjadi panduan kegiatan TBB dan disebarkan melalui Educare.
Para partisipan kolokium khususnya Focus Group Discussion (FGD) berasal dari ragam latar belakang seperti Pengajar SLB, Pengajar Sekolah Inklusi, GPK, hingga mahasiswa/mahasiswi.
Rumah Bestari juga turut mengundang perwakilan Dinas Pendidikan Kabupaten Sumenep dalam lingkar pemantik, Buhari, S.Pd,. M.Pd. (Kasie Kurikulum SD Dinas Pendidikan), Ruli Aprilia (Manager Lead Foundation/Aktivis Pendidikan), dan Ike Prasetyowati (Perwakilan Orang Tua Anak Inklusi yang bersekolah di Sekolah Inklusi).
Ia menjelaskan, FGD dibagi menjadi 4 kelompok yang mana seluruh partisipan berdiskusi secara aktif mengenai tantangan dan solusi yang perlu dilaksanakan demi terciptanya pendidikan inklusi sesuai fokus isu topik FGD masing-masing.
"Kami berusaha untuk membangun lingkungan inklusif secara akademik melalui kolokium ini sebagai dapur pembuatan regulasi dan edukasi hingga praktik sebagai bentuk aksi,” ujar Andin sambil menawarkan bagi pembaca dapat mengunjungi profil Rumah Bestari secara daring melalui akun Instagram mereka(@rumah.bestari). ( Ren, Fer )