Sms Pengaduan :
news_img
  • ADMIN
  • 24-11-2021
  • 1777 Kali

Kajari Sumenep Kenalkan Asas Contrarius Actus Untuk Melawan Mafia Tanah

Media Center, Rabu (24/11) Banyaknya permasalahan pertanahan di Indonesia umumnya, dan di wilayah Sumenep khususnya, mengundang keprihatinan Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Sumenep, Adi Tyogunawan, SH., MH.

Untuk itu Kajari yang karib dengan panggilan Adi Tyo mengenalkan Asas Contrarius Actus. Yaitu konsep dalam hukum administrasi negara, yang menyebutkan badan atau pejabat tata usaha negara yang menerbitkan tata usaha negara (TUN), dengan sendirinya berwenang mengubah, mengganti, mencabut atau membatalkan dokumen yang dibuatnya. 

Hal itu disampaikan Adi Tyo dalam kegiatan Sosialisasi Pencegahan Kasus Pertanahan yang diadakan oleh Kantor Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Kabupaten Sumenep, di Aula ATR/BPN, Rabu (23/11/2021).

Kajari Sumenep ini juga menyoroti munculnya mafia tanah yang tidak lepas dari peran BPN sendiri. Oleh karenanya, ia mengajak kepada seluruh pegawai BPN untuk tidak memberikan hak kepada orang yang tidak memiliki hak, dan tidak menghilangkan hak orang yang memiliki hak.

“BPN itu berkaitan dengan hak orang, ada yang tidak berhak dikasih hak, sementara ada yang berhak malah hilang haknya," ungkapnya.

“Jangan sampai BPN yang menerbitkan sertifikat, jika ada masalah malah menyuruh diselesaikan di pengadilan. Keliru itu, kasihan rakyat. Jika ada salah prosedur, ya batalkan," tegas Kajari yang berprinsip bahwa hukum itu untuk keadilan.

Terkait dengan pembatalan penerbitan dokumen TUN, Kajari merujuk pada Pasal 64 ayat (1) UU No. 30 Tahun 2014, tentang Administrasi Pemerintahan, bahwa keputusan dapat dilakukan pencabutan apabila terdapat cacat pada wewenang, prosedur, dan/atau substansi.

Terkait penyelesaian permasalahan tanah dan melawan mafia tanah, Kajari Sumenep juga memberikan beberapa masukan kepada BPN Sumenep.

Di antaranya, perlu dibentuk struktur organisasi Eksaminasi, sebagaimana pernah dibentuk oleh ketika BPN diketuai oleh Hendarman Supanji.

Dalam menghadapi permasalahan pertanahan, BPN juga bisa menerapkan Asas Contrarius Actus, dimana sertifikat yang terbit akibat kesalahan prosedur, dibatalkan oleh pejabat yang menerbitkan.

Sementara hal terkait dengan oknum BPN yang bermain dalam pembuatan dokumen dengan memalsukan surat-surat atau warkat tanah, bisa dilaporkan dan dipidanakan.

“Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi Pasal 9, bisa dipidana dengan pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama lima tahun disertai pidana denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp250.000.000,00 (dua ratus juta rupiah), pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri, yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus-menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja memalsu buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi," tegasnya, panjang lebar.

“Masalahnya BPN cuci tangan, rakyat diadu di lapangan dan pengadilan. Padahal sengkarutnya dimulai dari perbuatan oknum BPN yang memalsu atau menyimpangi prosedur pemberian hak atas tanah," ungkapnya lagi.

Untuk tanah yang yang belum bersertifikat atau tanah negara yang diberikan kepada pemohon melalui Surat Keputusan Pemberian Hak jika prosedur pemberiannya salah, menurut Kejari, maka beschiking itu mesti dibatalkan agar mafia tanah kehilangan komoditas.

“Jika semua tanah yang bermasalah tidak diterbitkan sertifikat, maka tanah tidak akan menjadi komoditi, dan mafia tanah tidak akan mau mengeluarkan modal, karena tak laku dijual," tutupnya.

(Miko, Han)