
Media Center, Selasa ( 09/01 ) Di sebuah perkampungan yang dikenal dengan pemukiman Radin di Desa Tamedung, Kecamatan Batang-batang, ada sebuah makam kuna yang masih original. Berdasar inkripsi batu nisan, makam itu diidentifikasi sebagai makam Kiai Bein Seing. Dari namanya, bisa diduga dengan tepat, beliau bukanlah orang asli Nusantara, khususnya Madura. Beliau memang warga asing, tepatnya warga berdarah Cina yang hijrah ke belahan timur Pulau Garam.
“Menurut keterangan para sesepuh, Kiai Bein Seing ini adalah anak Kapitan Keng, dari Kerajaan Sriwijaya,”kata Abdul Warits, salah satu peminat sejarah yang berasal dari Tamedung, pada Media Center.
Dari batu nisan Kiai Bein Seing, tertulis masa hidup beliau hingga akhir hayatnya. Dipadukan dengan keterangan Warits, beliau lahir di tahun 1602, dan wafat di tanggal 20 Shafar 1793 Masehi. Namun, mengenai tahun lahir tersebut belum bisa dipastikan sebagai tahun Masehi. Karena Madura juga mengadopsi tarikh Jawa, seperti tahun saka, yang merupakan paduan Masehi dan Hijriah.
“Juga ada tahun yang memakai sandi dengan huruf hijaiyah, seperti misalnya tahun wawu,”kata pemerhati sejarah di Sumenep, RB. Nurul Hidayat.
Mengenai kisah hidup Kiai Bein Seing tidak ada keterangan tertulis. Riwayat lisan di Tamedung sendiri, menurut keterangan Warits juga sangat minim. Hanya saja, menurut salah satu keterangan, di daerah tersebut juga disebut sebagai lokasi terdamparnya 6 tentara Tartar atau Mongol, yang salah satunya ialah kakek Lau Piango, arsitek Masjid Jami’ dan Keraton di masa Panembahan Sumolo (1762-1811 M).
“Muncul kemudian dugaan Kiai Bein Seing ini salah satu dari 6 tentara itu. Namun apakah itu benar, masih belum bisa dipastikan,”tambah Warits.
Keturunan Kiai Bein Seing lantas berasimilasi dengan penduduk pribumi. Lantas menyebar di bagian pesisir Sumenep atau pantura, hingga Pasongsongan. Sementara yang ada di Tamedung, salah satu keturunan Kiai Bein Seing ada yang diperisteri salah satu ulama di sana, tokoh yang diyakini sebagai waliyullah di Sumenep, yaitu Ju’ Nipa.
“Keturunan beliau rata-rata dahulu dipanggil Radin atau Raden, karena konon Ju’ Nipa masih ada hubungan darah dengan keluarga keraton,”imbuh Warits.
Lalu bagaimana dengan asal-mula sebutan Kiai pada Kiai Bein Seing? Warits mengaku tidak memiliki riwayat khusus tentang hal itu. Kemungkinan hal itu sebagai gelar ketokohan, yang tidak identik dengan gelar keilmuan di bidang agama. “Meski banyak tokoh-tokoh kiai di bagian timur Sumenep ini yang juga bernasab ke Kiai Bein Seing dan Ju’ Nipa,”tutupnya. ( M Farhan M, Esha )