News Room, Kamis ( 14/07 ) Karapan Sapi merupakan salah satu ikon penting Sumenep. Berakar dan bersendikan nilai-nilai luhur, meski belakangan tradisi ini mengalami perkembangan sedemikian rupa.
Dalam beberapa literatur, tradisi ini dikaitkan dengan nama besar salah satu waliyullah agung di Sumenep : Pangeran Katandur alias Sayyid Ahmad Baidlawi, cucu Sunan Kudus yang wafat dan dikuburkan di Sumenep.
Namun menurut salah seorang tokoh budayawan Sumenep, almarhum RP. Abd. Sukur Notoasmoro, karapan sapi justru berawal di masa Panembahan Sumolo alias Notokusumo putra Bindara Saut, yang notabene merupakan keturunan Pangeran Katandur.
“Tradisi ini diciptakan oleh Panembahan Sumolo untuk menggairahkan sektor tani di masa kemarau,”kata salah seorang putra dari RP. Abd. Sukur, H. RB. Nurul Hamzah, pada Media Center.
Di kala itu, budaya tersebut berfungsi juga sebagai penghibur para petani. Mengingat masa kemarau merupakan masa paceklik yang menyulitkan para petani. Ketika itu, Panembahan Sumolo turun langsung dan menciptakan hiburan tersebut.
“Petani disuruh membajak ladang dengan sapi dan dikemas melalui lomba pacuan sapi, sehingga dari sanalah istilah karapan itu muncul. Yaitu dari kata garapan,”jelas Nurul Hamzah. Kegiatan itu lantas populer dari tahun ke tahun. Istilah garapan juga lantas berubah menjadi “kerapan atau karapan sapi”.
Para petani juga tambah tertantang untuk membesarkan sapi, sehingga sapi kemudian menjadi komoditas mahal di Sumenep, bahkan Madura pada umumnya.
“Aturan lomba karapan kala itu juga unik. Lomba tersebut ada 2 babak. Babak pertama untuk menentukan 2 kelompok, yaitu kelompok menang dan kelompok kalah,”kata Nurul.
Lalu setelah itu masuklah pada babak kedua, yaitu mengadu masing-masing kelompok tersebut, sehingga di kala itu ada 2 pemenang, yaitu yang berasal dari “kelompok menang” dan yang berasal dari “kelompok kalah”.
“Filosofinya jelas, menang atau kalah sama-sama dihargai,”tutup Nurul Hamzah. ( Farhan, Esha )