Media Center, Selasa (04/010 Pertengahan
abad 18 hingga paruh kedua abad 19 bisa dikata sebagai masa keemasan negeri
Sumenep. Meski memerlukan kearifan tersendiri untuk menempatkannya secara tegas
dalam lembaran sejarah. Mengingat tidak sedikitnya perbedaan sudut pandang,
yang melahirkan pro kontra. Namun yang jelas, fakta di masa mendatang menunjukkan,
peninggalan-peninggalan di kurun tersebut saat ini menjadi aset penting dalam upaya
menghangatkan memori sejarah yang mulai dingin dan berpotensi membeku.
Salah satu tokoh yang fenomenal di masa
tersebut, ialah Sultan Pakunataningrat. Warga Madura timur menyebutnya Sultan
Abdurrahman. Sang nata ini merupakan penguasa ketiga dalam dinasti terakhir di
negeri yang dulu bernama Purwareja. Sosoknya nyaris tidak diragukan dalam
hal ketinggian keilmuan. Baik di ranah keagamaan hingga kebudayaan. Tak hanya
oleh kawan, namun juga oleh lawan.
Meski begitu, tidak sedikit di masa
mendatang yang mengait-ngaitkannya dengan keberpihakan pada penjajahan. Berupa sikap
lunaknya dan jalinan persahabatan dengan kalangan kulit putih atau warga Eropa
itu. Hal ini sejatinya membutuhkan pembahasan agak panjang dan tidak bisa secara
sepotong-sepotong. Ibarat mata rantai yang harus selalu terkait dan tidak bisa
terputus demi menggerakkan roda agar senantiasa berputar.
Namun agar tidak melenceng dari judul tulisan, pembahasan mengenai hal itu sementara ditangguhkan. Dalam beberapa edisi, tulisan ini membuat batasan di era keemasan. Keemasan yang dirajut dengan membebaskan sekat-sekat dalam sulaman keragaman, sekaligus menempatkan toleransi paripurna dalam keniscayaan perbedaan.
(Han)