Sms Pengaduan :
news_img
  • ADMIN
  • 23-10-2017
  • 2856 Kali

Menelusuri Jejak Anggasuto, Cikal-Bakal Garam Di Madura

Media Center, Senin ( 23/10 ) Bicara garam di Nusantara, tentu tak bisa lepas dari Madura. Dari situ akan mengerucut pada Sumenep. Dan ujung-ujungnya akan menemukan nama Anggasuto. Yang terakhir ini, konon, merupakan tokoh sentral munculnya garam di pulau ini. Ia juga bisa dikata penemu garam. Produk utama selain tembakau yang kini menjadi gelar Pulau Madura.

Anggasuto sebagai tokoh sentral garam di Madura, hampir tidak ada yang memungkiri. Namun siapa dan dari mana asal tokoh yang pasareannya ada di Desa Kebundadap Barat (Dadda’), Saronggi, itu hingga kini masih misteri. Pasalnya, beragam versi yang berkembang di masyarakat hampir tidak bisa dibuktikan secara ilmiah. Tak ada prasasti atau literatur di babad atau pun sejarah Sumenep yang bisa menunjukkan jati diri sang tokoh.

“Di kawasan sekitar tempat tinggal Anggasuto juga tidak ada keterangan yang pasti,”kata Nomo, salah satu pemerhati sejarah di Karangayar, Desa yang berdampingan dengan Desa Pinggirpapas, kediaman asal Anggosuto.

Salah satu kisah yang berkembang di sana, Anggosuto merupakan tokoh yang dihormati. Konon, beliau masih ada hubungan kerabat dengan Raja Sumenep.

Menurut beberapa sumber lisan, dulu, pada waktu peristiwa perang dengan pasukan Bali yang masuk ke Sumenep, Anggasuto dikisahkan memberi jaminan kepada keraton, terkait sisa-sisa pasukan Bali yang hendak dihancurkan oleh pasukan Sumenep. Kejadian yang tercatat di babad Songennep itu pada masa Pangeran Lor dan Pangeran Wetan I, keduanya adalah putra Tumenggung Kanduruhan.

“Salah satu riwayat di sini, Raja Sumenep mengabulkan permintaan Anggasuto, karena secara kekeluargaan masih terhitung paman. Raja memanggil Anggasuto dengan sebutan Rama,”kata Nomo.

Siapa Anggasuto ini? Zainalfattah dalam bukunya yang berjudul “Sedjarah Tjaranja Pemerintahan di Daerah-daerah Di Kepulauan Madura Dengan Hubungannja” mengutip peristiwa perang Bali dan Pinggirpapas, sebagai salah satu tempat mendaratnya pasukan dari Pulau Dewata itu.

Zainalfattah menyebut di sana banyak pekuburan orang-orang Bali beragama Shiwa, yang dikuburkan dengan tanda makam Islam. “Memang ada, di antaranya yang dikenal ialah Pangeran Kepala Perang. Ya bentuk makamnya Islam. Namun, kami tidak bisa memastikan apakah itu hanya petilasan atau memang sudah masuk Islam,”kata Nomo.

Konon, Anggasuto melindungi sisa pasukan Bali itu, dan mengajarkan cara bertani garam. Dalam sebuah cerita kuna, ada yang menyebut Anggasuto itu dari Majapahit. Ia disebut “rato” yang menyingkir ke Sumenep. Kisah di sebagian masyarakat Pinggirpapas itu mungkin ada benarnya. Mengingat penguasa Sumenep kala itu adalah trah Majapahit.

“Makanya konon, raja Sumenep memanggil paman,”imbuh Nomo.

Pangeran Wetan dan Lor I memang cucu Raden Fatah, Sultan Demak. Raden Fatah adalah salah satu putra Bhrawijaya V, raja penghabisan Majapahit. “Namun untuk membuktikan kisah tutur itu mungkin butuh penelitian lebih lanjut,”tambah Nomo.

Kisah tutur di kawasan Karanganyar dan Pinggirpapas itu lantas menepis versi lain yang berkembang, bahwa Anggasuto termasuk pembesar pasukan Bali yang bersembunyi di Pinggirpapas, dan berprofesi sebagai petani garam. “Tapi anehnya memang pada waktu acara Nadar (Nyadar), pusaka yang dipamerkan memang pusaka khas Bali. Nah, ini letak permasalahannya. Jadi banyak yang mesti dipecahkan dalam misteri Anggasuto ini,”tutup Nomo. ( M Farhan, Esha )