News Room, Senin ( 18/06 ) Masalah keagrariaan menjadi masalah yang sensitif dan krusial akhir-akhir ini, sebab masalah pertanahan menyangkut kepentingan dasar masyarakat dan juga menyangkut eksistensi hukum pertanahan itu sendiri. Demikian sambutan Bupati Sumenep yang disampaikan Wakil Bupati Sumenep, Ir. H. Soengkono Sidik, S.Sos, M.Si pada kegiatan Pembinaan Administrasi Keagrariaan bagi Petugas PPAT Kecamatan, Kepala Desa/Lurah dan Sekretaris Desa/Lurah tahun 2012, di Hotel Utami Sumekar Sumenep, Senin (18/06). Menurutnya, yang patut dibanggakan, negara kita sudah mempunyai Undang-Undang Agraria yang masih tetap eksis digunakan, yakni Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 atau yang dikenal dengan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). “Undang-Undang Pokok Agraria adalah Undang-Undang Pokok. Undang-Undang ini mendasari lahirnya banyak undang-undang lain di negeri ini, khususnya undang-undang yang berkaitan dengan ruang, lingkungan, tanah dan sumberdaya alam lainnya,”ungkapnya. Ditambahkan, Undang-Undang Pokok Agraria menggariskan bahwa agraria sebagai sumber-sumber ekonomi dan politik bangsa, haruslah menjadi sumber kesejahteraan masyarakat dan kemakmuran bangsa. Karena, agraria juga menjadi dasar penataan struktur sosial, ekonomi, dan politik masyarakat secara berkeadilan. dan, prinsip ini pula yang menjadi dasar penataan pertanahan nasional. Disamping itu, Undang-Undang Pokok Agraria juga menjelaskan bahwa tanah adalah perekat negara kesatuan Republik Indonesia. hubungan tanah dengan rakyat Indonesia bersifat abadi. keduanya mencerminkan kebangsaan Indonesia. tanah mempunyai fungsi sosial, yang harus dimanfaatkan dan tidak boleh diterlantarkan. Penguasaan dan pemilikan tanah diatur untuk menjamin kepastian hukum, dan memastikan tanah bagi kepentingan umum tersedia. “Reforma agraria harus dijalankan guna mewujudkan “tanah untuk keadilan dan kesejahteraan rakyat”,”tambahnya. Namun, akhir-akhir ini marak terjadi konflik agraria yang terjadi di berbagai daerah bahkan hingga mengakibatkan hilangnya nyawa-nyawa manusia, seperti kasus Mesuji dan bentrok aparat di pelabuhan Sape, Bima, Nusa Tenggara Barat. Dari laporan konsorsium pembaruan agraria, sepanjang tahun 2011 terdapat 163 konflik agraria di Indonesia dengan jumlah rakyat atau petani yang menjadi korban meninggal akibat konflik ini mencapai 22 orang. Hal ini lebih tinggi jika dibandingkan tahun 2010 yang hanya terdapat 106 konflik agraria dengan 3 orang meninggal. Karena itu, banyaknya jumlah konflik agraria tersebut, haruslah menjadi pelajaran dan respon kita, agar hal tersebut tidak terjadi di Kabupaten Sumenep ini. Untuk itu, jangan malu untuk menampung semua pengaduan masyarakat berkaitan dengan penguasaan sumber daya alam yang timpang dan tak berkeadilan. Sementara itu, Kepala Bagian Pemerintahan Umum dan Otoda Sekretariat Daerah Kabupaten Sumenep, Drs. Imam Fajar, M.Si menjelaskan, kegiatan Pembinaan Administrasi Keagrariaan tahun 2012 tersebut diikuti sebanyak 363 orang terdiri dari 252 orang dari Kecamatan daratan dan 111 orang dari Kecamatan kepulauan di Sumenep, yang terbagi atas 7 angkatan, masing-masing 2 hari pelaksanaan. “Pembinaan Administrasi Keagrariaan ini bertujuan memberikan pemahaman dan pengetahuan bagi peserta/aparatur untuk meningkatkan kemampuan dan mendorong terwujudnya tertib administrasi keagrariaan,”pungkasnya. ( Ren, Esha )