Sms Pengaduan :
news_img
  • ADMIN
  • 20-04-2016
  • 771 Kali

Hari Kartini Dan Porsi Penting Yang Dimiliki Perempuan

News Room, Kamis ( 21/04 ) Bagi kaum Hawa di Indonesia, mungkin Kartini (lengkapnya Raden Ajeng Kartini, atau Raden Ayu Adipati Singgih Joyoadiningrat) merupakan hakikat dari makhluk bernama wanita itu sendiri (sebagian orang lebih suka menggunakan nama perempuan-dari asal kata empu yang bermakna tuan dan lain sebagainya, karena dalam istilah Jawa, wanita berasal dari dua kata; yakni wani dan ditata, yang maknanya berani ditata).

Betapa tidak, tidak ada sosok perempuan atau wanita lain yang tanggal kelahirannya diperingati setiap tahun dan ditetapkan pemerintah sebagai Hari Kartini dalam kalender nasional, selain putri dari Bupati Jepara, Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat ini.

Bagi Kartini, perempuan Jawa khususnya, hidup dalam samudera penderitaan. Posisi nomor dua yang selalu disandang mereka dianggapnya produk budaya lokal yang menghambat kemajuan perempuan.

Kartini mendeskripsikan penderitaan perempuan Jawa akibat kungkungan adat, yaitu tidak bisa bebas duduk di bangku sekolah, mesti dipingit, sebelum selanjutnya dinikahkan dengan laki-laki yang tak dikenalnya, sekaligus harus bersedia dimadu (poligami). Singkatnya, dunia kaum perempuan sangat sempit, sebatas susunan tembok-tembok rumahnya.

“Pemikiran Kartini sangat maju jika diukur dari masanya. Sebuah pemikiran yang berani dan membebaskan,”kata R. Aj. Rabiatul Adawiyah, seorang guru di Sumenep.

Menurut ibu 3 anak ini, di masa dulu tentu tidak mudah bagi kalangan wanita meski memiliki status sosial tinggi sekalipun, untuk beraktualisasi, sehingga apa yang telah diperjuangkan Kartini di masanya, mesti kembali diaktualisasikan di masa sekarang.

“Kita memang tidak hidup dalam pingitan lagi. Justru itu sebuah peluang besar bagi perempuan untuk lebih maju lagi,”tambahnya.

Rabiatul juga mengaku sangat miris melihat kondisi perempuan saat ini. Di jaman kesetaraan gender didengung-dengungkan ia melihat kenyataan di lapangan begitu kontras dengan cita-cita Kartini.

“Jangan sampai malah kembali berkutat di sumur – dapur – kasur lagi. Ini terlepas dari masalah kodrat dan fungsi yang tak perlu diperdebatkan, karena sifatnya yang paten,”katanya, sambil tersenyum. Di wilayah publik, menurutnya, peran serta perempuan masih sangat minim.

Meski begitu, Rabiatul mengaku tak bermaksud menyudutkan pihak tertentu, apalagi menuding tanpa bukti. Ia hanya mengingatkan kaum perempuan minimal, agar bersungguh-sungguh dalam memperjuangkan hak-haknya.

“Jangan hanya kewajiban saja yang ditunaikan, hak juga harus didapatkan,” pungkasnya.

Terpisah, R. Imamiyah, seorang ibu rumah tangga mengatakan bahwa peringatan Hari Kartini setiap tahun masih belum memberi efek langsung bagi kaum Hawa. Efek yang dimaksud Iim - panggilan sehari-harinya - ialah upaya meningkatkan kualitas warga perempuan.

“Setiap tahun sebatas terpampang  di kalender, bahwa tanggal 21 April itu Hari Kartini. Hanya sebatas ucapan Selamat Hari Kartini di media-media. Seperti di televisi dan lain-lain,”katanya. Memang, sebenarnya menurut Iim, tradisi peringatan sebatas seremonial seringkali dijumpai dalam hari-hari penting lain. Meski tak setiap peringatan, namun frekuensinya agak sering.

“Seharusnya betul-betul bisa menyentuh substansi. Memperingati Hari Kartini ya yang jelas harus dibarengi dengan upaya terus-menerus melanjutkan cita-cita Ibu kita Kartini,”tambahnya, sehingga lanjut Iim, jika upaya tersebut bisa dilakukan secara konsisten, ia yakin bisa menunjukkan grafik naik.

“Ya, dengan demikian, subtansi dari peringatan Hari Kartini benar-benar didapat. Tidak terkesan sekadar pertunjukan karnaval atau teater kolosal,”kata warga Jalan Barito Pandian ini.

Sementara Siti Faizah, seorang wiraswasta perempuan, memiliki pandangan lain. Menurutnya, kemajuan seorang perempuan bukan diukur dari prestasinya menduduki berbagai jabatan publik, atau berkarir hingga puncak. Namun, menurut ibu 4 anak ini, kemajuan perempuan tetap memiliki benang merah dengan kodratnya sebagai seorang isteri, sekaligus ibu bagi anak-anaknya.

“Artinya, kita tak perlulah mengejar karir atau bersaing dengan ambisi besar sebagaimana wanita modern saat ini. Bukan tidak boleh, tapi dikhawatirkan ada kewajiban lain yang lebih besar yang akhirnya ditinggalkan. Khususnya bagi wanita yang sudah bersuami dan memiliki anak. Jadi, yang wajar-wajar sajalah,”kata Faizah.

Mengenai Hari Kartini, Faizah memaknainya sebagai momentum bersyukur, karena saat ini budaya lama yang dulu sempat mengungkung perempuan sudah lambat laun pudar.

“Perempuan sudah memiliki porsi penting di negeri ini. Ini suatu anugerah besar yang harus kita syukuri,”tutupnya. ( Farhan, Esha )