Sms Pengaduan :
news_img
  • ADMIN
  • 08-12-2012
  • 654 Kali

Mendagri Minta Kewenangan Ekstra Bisa Copot Kepala Daerah

News Room, Sabtu ( 08/12 ) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mengusulkan kepada Presiden, agar diberi kewenangan memecat langsung Kepala Daerah bermasalah. Khususnya yang terbukti melakukan tindakan asusila, amoral, dan perbuatan tercela. Usul tersebut masuk draft revisi Undang-Undang (UU) Nomor 34 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda). Sesuai dengan UU Nomor 34, saat ini kewenangan untuk memberhentikan Kepala Daerah bermasalah, sepenuhnya berada di tangan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Kepala Pusat Penenerangan (Kapuspen) Kemendagri, Reydonnyzar Moenek mengatakan, era desentralisasi membuat pemerintah pusat sering kehilangan kontrol terhadap Pemda. Mendagri sebagai wakil pemerintah pusat tidak memiliki kewenangan, instrumen, dan perangkat untuk menertibkan Kepala Daerah yang telah terbukti bersalah. “Kalau dimungkinkan, mengapa tidak. Ini proses untuk mendisiplinkan sekaligus menata kembali otonomi daerah. Jangan karena dipilih langsung, mereka bisa berbuat sesuka hati. Ada derajat akuntabilitas dan aspek keadilan masyarakat yang harus dijaga,”kata Reydonnyzar, setelah diskusi Bila Pejabat Publik Melanggar Hukum dan Etika, di Gedung Parlemen, kemarin (07/12). Agar tafsir tidak melebar, Reydonnyzar mengatakan, bahwa nanti dirumuskan aturan tentang batasan tindakan asusila, amoral, dan perbuatan tercela. “Pemerintah wajib menjaga etik dan norma pejabat dalam pemerintahan,”tegasnya. Reydonnyzar mencontohkan persoalan yang muncul antara Bupati Garut, Aceng HM Fikri dan Fani Octora. Mendagri tidak bisa berbuat banyak selain menunggu proses yang berjalan di DPRD. Mendagri hanya bisa meminta komitmen moral dari Fraksi-fraksi di DPRD Garut selaku perpanjangan partai politik (parpol). “Mendagri sendiri tentu bilang apa, perangkat saya untuk menghukum yang bersangkutan (Aceng, Red) ?”. Dalam persoalan Aceng dengan Fani, keduanya memang sudah menempuh islah. Tapi, Kemendagri berpendirian islah dan permintaan maaf Aceng itu tidak membuat proses politik dan hukum terhadap dia selesai. Secara politik, Kemendagri tetap memandang ada potensi pelanggaran Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6 tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah, serta Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, Aceng yang melakukan nikah siri dengan Fani dianggap melanggar hukum, karena tidak mencatatkan pernikahannya. Padahal, seorang Kepala Daerah seharusnya menaati hukum. “Dapatkah yang bersangkutan (Aceng) dianggap melanggar sumpah dan janji jabatan, kami kembalikan kepada DPRD,”ungkapnya. Sebelum islah, Fani melaporkan Aceng ke Mabes Polri. Tapi, perkara yang dilaporkan hanya terkait pencemaran nama baik, perbuatan tidak menyenangkan, dan penipuan. Bila laporan itu dicabut oleh pihak pelapor, kasus tersebut akan dianggap selesai. Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), Robert Endi Jaweng menegaskan, kasus Fani tergolong Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Hal itu diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT. “Jadi, sifatnya bukan delik aduan. Polisiyang harus aktif. Ini perintah hukum,”katanya. Anggota Komisi II DPR-RI, Arif Wibowo menolak usul Kemendagri. Selain berpotensi bias tafsir, nuansa yang muncul sangat kental dengan resentralisasi. Pemerintah seharusnya mengurusi ranah publik, bukan privat,”kata politikus PDIP itu. ( JP, Esha )